Selasa, 29 April 2014
Posted on 02.23 by Unknown
| No comments
Hingga Batu Bicara
Posted on 02.12 by Unknown
| No comments
HINGGA BATU BICARA
Oleh Helvy Tiana Rosa
Dan
seperti hari-hari kemarin, aku pun berlalu begitu saja dari hadapan gadis itu
sambil membetulkan letak senapan laras panjang yang kusandang. Namun sampai di
pos penjagaan, beberapa meter dari tempat perempuan itu berada, mataku masih
lekat padanya.
Aku tak tahu siapa perempuan itu. Diakah?
Sejak pindah tugas bulan lalu dari Tel Aviv ke tanah kelahiranku, Yerusalem,
tepatnya di sekitar Al-Aqsha dan Dinding Ratapan ini, hampir setiap hari aku,
juga tentara yang lain melihatnya.
"Suatu
hari aku akan bersenang-senang dengannya!"ujar David, teman bertugasku di
sini yang senantiasa memproklamirkan dirinya sebagai Lohamei Herut Israel
sejati. Ia menyeringai, menampakkan gigi-giginya yang kecoklatan. "Lihat
saja nanti!" serunya.
"Ya, setelah itu kita akan menghabisi
perempuan gila itu!"sambung Goldstein, temanku yang lain dengan nada
dingin, sambil melipat koran Yediot Aharonot, yang sejak tadi dibacanya.
Perempuan itu memang masih muda. Mungkin usianya
sekitar dua puluh sampai dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik, seperti
kebanyakan gadis Palestina, hanya sedikit lebih runcing. Matanya kelabu, bulat
dan bening. Kedua alisnya yang hitam dan tebal hampir menyatu di atas hidung
yang mencuat. Ia tinggi namun sang at kurus dan tampak semakin tenggelam dalam
abaya dan kerudung hitamnya yang besar, longgar dan lusuh. Dari jauh sosoknya
mengingatkanku pada tiang-tiang abu-abu dan hitam yang sering kami pancangkan
di perbatasan daerah pemukiman.
"Apa
yang dibicarakannya dengan," David tak sanggup menahan tawa,"
Batu-batu itu?".
Aku mengangkat bahu. Membuka helm 'perang'
dengan kaca plastik yang kerap menutupi wajahku. Kini aku dapat memandang gadis
itu lebih jelas. Wajah pasinya tak wajar. Kulihat ia komat kamit, berbicara
pada batu-batu itu. Tangannya cekatan menyusun bebatuan tersebut dalam satu
barisan panjang. Lalu ia memberi aba-aba, layaknya seorang komandan
mempersiapkan para prajuritnya. Perempuan itu menghentak-hentakkan kaki ke
bumi, berjalan di tempat, berulangkali. Wajahnya lurus ke depan, tepat ke arah
kami. Namun pandangannya kosong. Beberapa saat kemudian ia sudah duduk begitu
saja di tanah. Menyusun batu-batu lain, menumpukkannya ke atas dan
tersenyum-senyum sendiri. Pernah pula aku melihatnya sedang melakukan
gerakan-gerakan sembahyang. Sementara batu-batu besar dan kecil berjajar rapi
di belakangnya.
Gila,
batinku. Dan sama gilanya bila aku masih memperhatikannya.
"Selama ia cuma bicara pada batu, biarkan
saja. Kita juga butuh hiburan kan?" Goldstein mendengus, kemudian meludah.
"Kau
tak akan percaya, tetapi batu-batu ini memang bicara padaku!" Gadis itu
berusaha meyakinkanku. "Kau mau tahu apa katanya?".
Aku mengangguk bodoh.
Mata
gadis itu berubah liar. Bibirnya melengkung ke bawah. Penuh keyakinan ia
berkata, "Mereka, batu-batu itu akan membinasakan kalian, sebagaimana
kalian membinasakan bangsa kami!" Ia tertawa-tawa, sambil mengusap
batu-batu itu. Makin lama makin keras. Mengikik, menukik-nukik. Menyeramkan.
Lalu tiba-tiba dingin. Angin! Tawa itu menjelma angin puyuh yang berputar,
terus berputar menggulungku, lalu menghempaskanku ke sebuah tepian.
Tiba-tiba
saja aku telah berada di tempat lain. Sekelilingku gelap. Aku berada dalam
lorong panjang yang pekat. Bulu kudukku berdiri. Aku merasakan tangan dan
kakiku dingin, namun hawa panas juga menyergapku. Keringat menetes, membasahi
baju seragamku.
Hati-hati
sekali aku berjalan. Aku tersesat dalam labirin sunyi tanpa nama. Aku
meraba-raba mencari cahaya. Tertatih-tatih. Rasanya aku telah berjalan
beratus-ratus jam, sampai kulihat setitik sinar.
Detak
jantungku makin keras. Setengah memicingkan mata, perlahan aku menghampiri
sumber cahaya tersebut. Tiba-tiba kudengar suara-suara isakan. Erangan-erangan
yang memenuhi segenap ruangan. Lalu tangisan, jerit kesakitan dan teriakan
histeris yang tak putus-putus.
Danaku
nyaris terpekik. Aku biasa melihat mayat, namun tak sebanyak ini! Di hadapanku
kini kulihat ratusan mayat bergelimpangan. Semakin lama semakin banyak. Menjadi
ribuan dan terus bertambah lagi. Mayat-mayat itu berjejalan, seperti ikan-ikan
sardin dalam kaleng. Darah terus menetes-netes dari tubuh-tubuh itu. Anyir.
Mengental, menganak sungai. Beberapa kali aku terpeleset, dan jatuh di atas
mayat-mayat itu.
"Negeri
kami! Di mana negeri kami?"
"Tanah, kembalikan tanah kami!"
Suara-suara itu menggema, bergelombang,
berulang-ulang. Meninggalkan pedih. Seperti pisau yang mengerat-ngerat
sanubari. Badanku gemetar, menggigil. Kepalaku pening. Rasanya aku akan
pingsan, saat sayup-sayup kudengar suara ayah, "Ingat Jhosua I,3: Setiap
tempat yang akan kami injakkan dengan telapak kakimu, sudah Aku berikan
padamu."
Suara ayah, para rabbi dan erangan-erangan
tadi seperti berebutan menarik-narik kedua kupingku. Aku merasa kupingku
meleleh. Pandanganku kabur.
Samar, kulihat gadis itu. Wajahnya beku. Ia
tak bicara. Hanya buliran bening di matanya jatuh menetes membasahi tanah dan
batu-batu di sekitar yang telah meresap darah.
Aku mengucek kedua mataku. Apa aku tak salah
lihat?
Batu-batu itu! Batu-batu itu bergerak,
perlahan membumbung ke atas. Aku terperanjat! Batu-batu itu beterbangan! Mereka
menuju ke arahku! Mereka berlomba-lomba mengejarku. Aku berlari di atas mayat
dan tulang-tulang berserakan. Tenagaku tinggal sisa-sisa. Kakiku perlahan
membeku. Semakin kaku. Aku terjatuh. Terjerembab di atas mayat para kanak-kanak
yang membusuk. Dan sebuah batu yang paling besar sekonyong-konyong akan menimpa
kepalaku. Aku terbelalak. Tak percaya, kulihat kedua mata yang tiba-tiba tampak
pada batu itu. Mata! Batu itu punya mata! Juga mulut! Ia bahkan bersuara! Ia
terus memanggil-manggil namaku.
"Aaaaaaaaaaaa!"
Aku berteriak sekeras-kerasnya! Aku terbangun!
Sekujur tubuhku peluh. Penuh ngilu.
Belum
pukul dua dini hari. Gadis itu. Gadis yang berbicara dengan batu-batu. Mengapa
aku memimpikannya? Aku mengusap peluh di dahi. Mimpi-mimpi seram telah
memilihku menjadi tempat persemayaman sejak aku berada di tanah ini dan semakin
menjadi-jadi sejak aku mulai bertugas lima tahun lalu. Sungguh, kami telah
begitu karib. Tak pernah ada hal buruk yang terjadi padaku sesudah mimpi-mimpi
seram itu datang. Jadi, secara logika, aku harus meneruskan tidurku. Meneruskan
hidupku.
Namun gadis itudan batu-batu yang
berterbangan, kini berpindah dari dalam mimpi ke langit-langit kamarku.
Membentuk bayang-bayang aneh bersama lambaian pepohonan yang dibawa cahya
rembulan masuk, melalui celah jendela.
Aku terjaga. Aku terus berjaga!
"Kami tak dapat menjagamu lagi,
Hanan."
Aku melihat seorang lelaki bersimbah darah,
merangkak tertatih mendekati mayat seorang perempuan sebayanya. Di sisi mayat
perempuan tersebut, seorang gadis kecil seusiaku menangis sesenggukan. Ia
membuang boneka kain yang sejak tadi bersamanya dan memeluk jasad ibunya yang
kaku dengan segenap jiwa. Lalu ia menatap ayahnya, meratap parau.
"Jangan menangis, Hanan? Janganmenangis,
kau masih ingat cerita ayah tentang batu-batuitu?" Lelaki itu berusaha
tersenyum sambil terus merayap. Perlahan ia menjatuhkan badannya di samping
mayat istrinya. Sebelah tangannya menggenggam tangan sang istri. Sebelah lagi,
yang luka dan berlumuran darah membelai wajah gadis kecil bernama Hanan itu.
"Rasulullah
sudah mengatakannya, bannatii, kiamat tak akan datang sampai tiba pertempuran
kita dengan mereka. Hinggaseluruh batu berbicara dan memberitahu kita: ya hamba
Allah, ini Yahudi di belakangku!* Mereka tak akanbisa sembunyi, nak. Batu-batu
dan semua tentara Allah di alam ini akan membantu kaum Muslimin. Rasulullah
telah bersaksi."
"Abi!!"
"Jaga
dirimu baik-baik."
Dari balik pintu kayu yang rapuh, aku melihat
lelaki itu tak bergerak lagi. Dan Gadis delapan tahunan itu menjatuhkan
kepalanya di dada ayahnya.
Aku
terperanjat. Lututku gemeretak. Sekilas kulihat gadis itu memandang ke arah
pintu dan menemukan wajahku di sana. Matanya sembab. Kedua pipinya yang merah
jambu, kini benar-benar merona darah ayahnya.
"Anak
nakal!" Suara ayah menggelegar. Ia menjewer dan nyaris menendangku dengan
sepatu larsnya.
"Tapi ayah,"aku
mengusap keringat dingin di dahiku. Sementara gadis kecil itu menatap kami
dengan pandangan penuh tanya yang menusuk.
"Setelah
dibersihkan, besok rumah ini bisa kita tempati. Ayo, beritahu ibumu!"seru
ayah tak peduli.
Aku
menatap gadis itu lagi dan menemukan diriku yang masih gemetar, tenggelam dalam
bulat matanya. Dan wajah runcing kanak-kanaknya memperlihatkan garis-garis
tegar, tarikan-tarikan keras. Aku merasa nyeri dan teriris-iris. Betapa pedih
ditinggal ayah dan ibu. Bahkan bila kau tak menyukai mereka!
Ya,
aku menyaksikan sendiri! Ayahku telah membunuh ayah gadis itu! Teman-teman
ayahku menelanjangi sebelum membongkar tubuh ibunya, hingga darah bercipratan
di mana-mana dan tentara yang lain, dengan ekspresi batu, mengobrak abrik
tempat ini.
"Mengapa kita harus tinggal di
sini, ayah?" tanyaku ketika berlalu. Ah, aku selalu gagap bila berbicara
dengan ayah"Sebab ini tanah yang dijanjikan untuk kita dan besokrumah ini
menjadi milik kita, " Ayah mengusap kumisnya yang lebat. "Yatom, apa
pun yang terjadi kau harus jadi seperti aku dan membela tanah ini. Sekarang
coba sebutkan Satanim atau harar!" perintahnya.
"Aaatakkim,shada,
parokim, libarim, babill, onan,, protokolat,aagorgah, plotisme, qornun."
Ayah
terbahak-bahak. Menyentak-nyentak. "Hilangkan gagapmu!" serunya
kemudian, masih menggelegar. "Aku tak suka mendengarnya!"
Aku
menunduk.Mengangguk-angguk.
Setiap
kali bicara, ayah selalu menjelma raksasa yang menelanku bulat-bulat. Ketika
aku menjadi tentara lima tahun lalu, ia masih seorang raksasa. Hingga kini.
Bagiku, tak seorang pun mampu menghadapinya!
Keluargaku
mulai menempati rumah itu dua hari kemudian. Kami membuat rumah tersebut tampak
lebih bagus dan nyaman. Pintu kayu yang rapuh itu telah berganti dengan pintu
baru yang kokoh. Ibu menghias semua ruangan, di antaranya dengan perabotan yang
diplitur mengkilap. Tetapi tetap saja aku sering bergidik membayangkan bahwa
pernah ada mayat yang terkapar di sana.
Sementara
itu si gadis kecil entah ke mana. Aku menemukan boneka kainnya dalam keadaan
kotor dan lapuk, di samping rumah. Beberapa kali, kala senja, aku memergokinya
tengah memandangi tempat tinggal kami dari jauh. Ia tampak kurus, kumuh dan tak
terurus. Bajunya compang camping, wajahnya penuh debu. Samar, kulihat sebongkah
batu dalam genggaman tangannya yang mungil.
Gadisku
Yang Kampungan.
Kopi
panas terhidang cepat di hadapanku. Uapnya mengepul menghantam hidungku. Panas,
tapi harum. Kusambar sepotong bakwan dari piring tak jauh dariku. Pancaran
petromaks semakin samar. Tidak biasanya warung
kopi ini begini sepi. Hanya ada aku dan seorang laki-laki berwajah lelah
yang masih tekun menyantap indomie rebusnya.
Alunan
suara Iis Dahlia terdengar lamat-lamat dari radio tua sang empunya warung kopi.
Lirik-lirik sendu menghujat cinta itu kudengar dengan sabar. Begitu pahitkah
cinta? Kuseruput kopi panas itu perlahan. Aromanya menusuk hidung. Masih panas.
Angin
menghembus pelan. Dingin. Kurapatkan kemeja flanel tebalku. Beberapa malam ini
memang dingin sekali. Hujan datang tak pernah permisi. Kunyalakan rokok untuk
mengusir dingin. Angin masih saja berhembus pelan tapi dingin. Bapak tua sang
empunya warung memompa petromaks yang sinarnya semakin temaram. Sebentar
kemudian petromaks itu langsung menyala terang sekali. Aku memicingkan mata
tidak siap menerima sinar petromaks. Tapi toh lampu petromaks itu cukup membuat
warung kopi ini agak hangat.
Kulihatjamdidindingwarkop
.Setengah sebelas. Sudah setengah jam aku disini. Dia belum datang juga. Tanpa
sadar aku sudah menghabiskan tiga batang rokok. Kemana dia? Kucoba buang waktu
mendengarkan lirik-lirik kepasrahan luar biasa dari radio tua itu. Cinta masih
sangat pahit.
Kudengar
suara tawa dari kejauhan. Makin lama makin dekat. Ramai sekali. Tak lama
muncullah dia dari gelap jalan setapak di dekat warkop itu, bersama tiga orang
yang lain.
Senyumku
mengembang. Dia langsung menghampiriku dan memelukku dari belakang. Manja.
"Udah lama ya, Bang?" tanyanya dengan suara manja yang sangat
dibuat-buat, tapi aku suka. Aku hanya mengangguk sambil mengecup lengannya yang
melingkar di pundakku. "Maaf ya, Bang. Habis si Umar pakai acara ke rumah
ceweknya dulu sebentar," ujarnya langsung memberikan argumentasi. Aku
hanya bisa tersenyum lagi. Tak masalah untuk aku sebenarnya. Tiga orang yang
lainnya menyapaku ramah dan langsung mengambil tempat berjajar denganku lalu memesan
kopi dan teh hangat.
Dia
duduk di sampingku. Tangannya tidak pernah lepas dari pundakku. Sejenak
kemudian warkop ini langsung ramai oleh tawa empat orang itu. Entah apa saja
yang diobrolkan. Yang jelas seru sekali. Dan sekarang aku tidak kedinginan
lagi. Dia merapatkan duduknya ke badanku. Dipeluknya aku erat-erat, hangat.
Suara radio mendadak makin keras. Dia menggoyangkan tubuhnyamengikuti alunan
lagu. Kali ini tak ada lirik menghujat cinta. Ternyata cinta tidak selalu pahit.
Kutatap
wajah di sebelahku ini. Kelihatan sekali bedaknya yang tebal, gincu merah
menyala yang aku yakin dipulas berkali-kali, eye shadow mengkilat di matanya,
alis yang dilukis ulang serupa rembulan. Harum badannya menyengat hidungku,
mengalahkan aroma kopi panas di sekitar warkop. Sesekali ia juga menatapku
malu-malu, lalu tertawa genit sambil mencubit pinggangku. "Ngapain sih
lihat-lihat? Naksir ya?" tanyanya manja. Aku mengangguk cepat kalau ia
bertanya seperti itu. Kemudian tawanya berderai dari bibir merahnya. Ramai. Ribuan
cubitan lainnya langsung mendarat di badanku. Aku terbang.
Kupeluk
dia erat-erat selama perjalanan pulang. Tiga temannya tadi memisahkan diri.
Jalan gelap itu membuatku semakin mempererat pelukan. Aroma tubuhnya menempel
di badanku. Tapi tak apa, aku belom mandi sore tadi. Sampai di pertigaan jalan
yang sepi, ia mengajak berhenti. Dia bilang capek. Aku tak percaya sebenarnya,
toh kami belum berjalan jauh. Tapi aku turuti saja, tidak ada ruginya. Hari
juga belum berganti.
Ia
mengajakku duduk di bawah pohon tak jauh dari pinggir jalan. Dia langsung
memelukku erat sesampainya disana. Aku tidak berpura-pura bodoh. Kuciumi
wajahnya, lalu bibirnya. Gincunya belepotan di bibirku. Dia membantuku
menghapus gincu merah di bibirku dengan tissue yang dibawanya. Lalu kami berciuman
lagi. Tanganku tak pernah berhenti meraba tubuhnya, mengusap rambutnya.
Sesekali kuremas buah dadanya yang montok itu. Ia hanya bisa merintih pelan.
Betapa aku senang mendengar rintihannya. Angin membawanya berlari. Alunan
lirik-lirik yang menghujat cinta masih terngiang di telingaku. Cinta memang
tidak selalu pahit.
Bulan
berdarah masih menggantung di sana. Kupejamkan mataku dengan paksa. Tapi
kelebat di bawah pohon itu masih terus melintas di otakku. Hari ini memang
menyebalkan. Tadi siang aku bertemu lagi dengannya. Dia menungguku di depan
gerbang kampus. Riasan tebal di wajahnya tidak bisa menyembunyikan luka. Masih
terbayang lebam biru di dekat sudut matanya. Dia hanya menangis ketika aku
tanya mengapa. Aku tidak menghiraukan tatapan aneh teman-temanku yang melihat
aku memeluknya. Dia menangis di dadaku.
"Bapak
tahu tentang kita, Bang." Kata-katanya tersendat-sendat dibalik tangisannya.
Aku hanya bisa membisu. "Kata Bapak, aku nggak boleh lagi beraniketemu
Abang." Dia menangis terus di pelukanku. "Kata Bapak, aku nggak
pantas buat Abang." Aku bisa rasakan gemuruh di dadaku. Entah apa. Dan
gemuruh itu makin menjadi ketika sepasang mata mengawasi dari kejauhan. Aku
mengenali mata itu. Mata seorang gadis di masa lalu. Aku tak bisa menahan gemuruh
itu. Aku ajak dia pulang.
"Teganya
kamu, Yo. Aku nggak pernah menyangka kamu bisa begini. Kurang apa sih aku, Yo?
Apa sih yang dia lakukan terhadap kamu sampai kamu bisa seperti ini? Apa, Yo?
Kamu dipelet ya?"Dan sebuah tamparan selanjutnya mendarat di mukaku ketika
aku jawab kalau aku mencintainya.
"Nemu
di mana tuh, Yo?" sebuah pertanyaan hinggap padaku suatu hari dari seorang
teman. Aku hanya menjawab dengan senyum. Dan aku hanya bisa menerima
tampang-tampang heran mereka.
"Hmm...gimana
ya, Yo. Gue nggak tega ngomongnya, tapi ini harus gue bilang juga sama elu.
Cewek baru lu kampungan banget sih, Yo? Sorry banget deh kalau gue ngomong
begini. Gue cuman mau jujur aja sama lu. Kan lu minta pendapat gue.
Bulan
berdarah mulai meleleh. Mataku masih saja tidak bisa terpejam. Semuanya
berkelebat cepat. Gemuruh masih ada di dadaku. Tangisan gadisku masih jelas di
kepalaku. Gadisku memang kampungan. Dandanannya yang tebal sebenarnya membuat
kepalaku pusing waktu pertama kali aku berjumpa dengannya. Derai tawanya yang terlalu
ramai dan suara manjanya yang terlalu dibuat-buat. Dia memang jauh berbeda
dengan Siska, gadisku yang dulu. Siska yang cerdas, cantik alami tanpa perlu
make-up, dan cenderung pendiam tak banyak bicara. Entah mengapa aku berpaling
darinya.
Gadisku
yang kampungan itu...ah...entah mengapa aku tertarik padanya. Sejak bertemu di
warkop dekat rumahku. Lirikannya, senyuman genitnya, perhatiannya. Dan tak ada
yang lebih hebat dari ciumannya, rintihannya dan gerakan tubuhnya. Alunan
suaranya saat menyanyikan lirik-lirik yang menghujat cinta bisa membuatku
terdiam tanpa bisa berbuat apa-apa selain menatap matanya dengan eye shadow
mengkilat itu.
Gadisku
yang kampungan, yang memujaku seperti pangeran yang jatuh dari bulan. Gadisku
yang kampungan, yang sedang berbaring di sampingku dengan tubuhnya yang
telanjang, tertidur lelap. Kutatap wajahnya yang polos, tanpa make-up. Dan aku
membodohi diriku sendiri ketika aku ingat kalau aku tidak pernah mengatakan
padanya kalau aku mencintainya. Kupeluk tubuhnya erat-erat. Kuusap perutnya
lembut, tempat benih cintaku dan cintanya sedang bertumbuh. Gadisku memang
kampungan, tapi apa bedanya kalau ia mencintaiku?
Kekasih
Himiko
LARUT
malam itu, dalam posisi lamban yang membuat beban tubuh mereka berkurang, Bird
dan Himiko bercinta dalam kegelapan yang lembab selama sejam tanpa terputus.Bagaikan
binatang yang sedang melakukan pembuahan, mereka melakukannya dalam keheningan
hingga selesai.Lagi dan lagi Himiko terpekik saat mencapai puncak, dengan
selang waktu pendek diselingi jeda yang meletihkan.Bird setiap kali teringat
pada sensasi menerbangkan sebuah pesawat terbang mainan pada senja hari di
lapangan permainan sekolahnya. Himiko melengkungkan tubuhnya sehingga membentuk
lingkaran lebar, bergetar dan mengerang saat meniti jalan ke langit bagaikan
sebuah pesawat terbang mainan yang bekerja oleh sebuah motor yang terbebani.
Lalu dia turun kembali ke landasan pacu tempat Bird telah menunggu, dan saat
hening yang berulang pun tercipta.
Seks
bagi mereka kini telah berakar dalam sensasi ketenangan sehari-hari. Bird
merasa seolah-olah telah bercinta dengan gadis itu selama lebih dari seratus
tahun. Seks kini terasa begitu sederhana, dan tentunya, tak lagi menyembunyikan
kecurigaan atas ketakutan-ketakutannya yang paling mendasar.
Baginya,
kini tubuh Himiko adalah kesederhanaan itu sendiri, sekantong damar buatan yang
lembut.Dia amat merasa damai, karena Himiko secara terbuka dan tanpa syarat
membatasi hubungan seksual mereka hanya untuk objek kesenangan belaka.
Bird
teringat bagaimana rasanya saat dia melakukan dengan isterinya dan
perasaan-perasaan ketakutan mereka. Bahkan kini, setelah bertahun-tahun
perkawinan, mereka terperosok pada perasaan muram setiap kali begituan. Kaki
dan tangan Bird akan mendesak tubuh istinya, layu dan kaku dalam pertarungan
mengatasi rasa jijik dan istrinya menerima sebagai sebuah serangan.
Lalu
denga n merasa marah, dia akan memaki Bird, bahkan mencoba untuk balas
menyerang. Akhirnya, ujungnya selalu sama: dia akan terlibat dalam sebuah
pertengkaran tak berarti, menarik diri dari tubuh istrinya dan terus menjauh
hingga sepanjang malam, atau dia menyelesaikan ketergesaannya dengan sebuah
kepahitan.
Bird
sempat menggantungkan harapan akan terjadinya revolusi dalam kehidupan seks
mereka setelah kelahiran seorang anak dan....
Karena
Himiko secara berulang mencumbu Bird dengan keterampilan yang luar biasa, Bird
memilih puncak paling bernafsu Himiko sebagai momen yang tepat bagi dirinya
sendiri. Tapi ketakutan pada malam panjang yang mengikuti setiap akhir
persetubuhan, mereka terus menahannya. Dengan dungu Bird bermimpi tentang tidur
yang paling melenakan, menggapai lekukan lembut menuju puncak kenikmatan.
Tapi
Himiko terus terbang, jatuh menukik ke landasan dalam sebuah liukan lembut dan
tiba-tiba menari kembali ke angkasa bagaikan layang-layang yang terperangkap.
Saat kembali mendarat di landasan yang salah, Bird mendengar bunyi telepon
berdering. Dia mencoba bangkit, tapi Himiko menjepitkan tangannya melingkari
punggungnya. "Teruskan, Bird,'' katanya sesaat kemudian, seraya
mengendorkan pelukan.
Bird
melompat ke arah telepon yang masih berdering di ruang tengah. Terdengar suara
lelaki muda menanyakan ayah seorang bayi yang sedang dirawat di rumah sakit
universitas. Bird mengejang, menjawab dengan suara seperti dengungan nyamuk.
Telepon itu membawa pesan dari dokter.
"Maaf,
kami terlambat memberitahu, tapi kami sangat sibuk di sini,'' kata suara itu
dari kejauhan. "Saya meminta Anda untuk hadir pada pembedahan otak jam
sebelas besok pagi. Ini dari kantor Asisten Direktur. Dokter bermaksud
menelepon Anda secara langsung, tapi dia berhalangan. Kami sangat sibuk
sehingga terlambat memberi tahu!''
Bird
menarik napas panjang dan berpikir: bayi itu mati, Asisten Direktur akan
melakukan otopsi.
"Aku
paham. Aku akan datang besok jam sebelas. Terima kasih. ''
Bayi
itu makin lemah dan mati! Bird berkata pada dirinya sendiri saat meletakkan
kembali gagang telepon. Tapi kunjungan macam apa yang dilakukan oleh maut pada
bayi itu sehingga dokter perlu memperingatkan terlebih dulu? Bird merasakan
pahitnya empedu yang meluap dari perutnya. Sesuatu yang besar dan luar biasa
menatap padanya dari kegelapan tepat di hadapan matanya. Seperti seorang
entomolog yang terperangkap di dalam sebuah gua hidup-hidup dengan seekor
kalajengking, Bird berjingkat ke ranjang, gemetar dari ujung kepala hingga
ujung kaki. Ranjang itu, sebuah sarang yang aman: dalam hening Bird terus
gemetar. Lalu, seolah-olah berusaha menggali kepuasan di kedalaman sarang itu,
dia mencoba memasuki tubuh Himiko. Dengan tak sabar ia mengulangi kegagalannya
dan hanya separuh semangat. Jari-jemari Himiko membimbing Bird. Dengan cepat
rangsangannya membangkitkan gerakan binal gadis itu. Pada saat pasangannya
mencapai klimaks, Bird mundur dan terpuruk dalam masturbasi hampa. Menyadari
pukulan godam di belakang dadanya sebagai rasa sakit, Bird tergeletak lunglai
di samping Himiko dan merasa percaya tanpa alasan bahwa suatu hari dia akan
mati karena serangan jantung.
"Bird,
kamu benar-benar tampak ngeri,'' kata Himiko, mengeluh seraya menatap aneh
wajah Bird melalui kegelapan.
"Ah,
maafkan aku.''
"Ya,''
sahut Bird, ketakutan.
"Apakah
itu tentang kantor Asisten Direktur?''
"Mereka
ingin aku ada di sana besok pagi.''
"Sebaiknya
kamu minum pil tidur dengan wiski lalu tidur, kamu tak perlu menunggu telepon
itu berdering lagi.''Suara Himiko terdengar lembut.
Saat
Himiko hendak menyalakan lampu di sisi ranjang dan pergi ke dapur, Bird menutup
matanya untuk menghindari cahaya lampu, menghalanginya dengan tangannya dan
mencoba menyingkirkan kerikil tajam yang menancap di otaknya - mengapa bayi
sekarat itu membuat dokter sibuk hingga selarut ini? Tapi Bird segera diserang
oleh rasa takut. Dengan membuka sedikit matanya, dia meraih gelas dari tangan
Himiko yang sepertiganya berisi wiski dan memungut beberapa butir pil tidur,
menelan dalam sekali helaan, dan kembali memejamkan matanya
"Itu
bagianku juga,'' kata Himiko.
"Ah,
maafkan aku,'' ulang Bird dengan tolol.
"Bird?''Himiko
berbaring di atas ranjang dengan mengambil jarak dari sisi Bird.
"Aku
akan menceritakan padamu sebuah dongeng sampai wiski dan pil itu bekerja - satu
bagian dari sebuah novel Afrika.Apakah kamu pernah membaca tentang hantu
perompak?''
Bird
menggelengkan kepalanya dalam kegelapan.
"Ketika
seorang perempuan mengandung, hantu perompak memilih salah satu di antara
mereka untuk menyelinap ke rumah perempuan itu. Sepanjang malam, hantu ini
mengganyang janin yang sesungguhnya dan masuk ke dalam rahim. Saat hari
kelahiran, hantu itu lahir ke dunia sebagai janin yang tak berdosa...''
Bird
mendengarkan dalam hening. Sejak dulu kala, banyak bayi yang terserang
penyakit. Saat ibu mereka memberi sesajen dan berharap dapat menolong anaknya,
hantu perompak diam-diam menyembunyikan diri dalam lubang rahasia. Bayi-bayi
ini tak akan pern ah sembuh. Apabila bayi itu mati dan tiba saatnya untuk
dikubur, hantu itu kembali ke ujud asalnya dan kabur dari kuburan, kembali ke
sarang para hantu perompak dengan membawa serta sesajen dari lubang
persembunyiannya.
"... janin itu lahir sebagai bayi yang
lucu sehingga membuat ibunya jatuh hati dan tak ragu-ragu memberikan semua yang
dia minta. Orang-orang Afrika menamakan bayi-bayi itu 'anak-anak yang lahir ke
dunia untuk mati', tapi bukankah indah sekali membayangkan betapa lucunya
mereka, bahkan bayi-bayi mungil sekalipun!''
Barangkali Bird akan menceritakan kisah itu
pada istrinya. Bird lantas berpikir, "Dan karena bayi kami dilahirkan
untuk mati, perempuan itu akan membayangkan sebagai seorang bayi yang amat
cantik. Aku bahkan akan meralat memoriku sendiri. Dan itu akan menjadi penipuan
terbesar seumur hidupku. Bayiku yang aneh mati tanpa perbaikan pada kepala
kembarnya yang buruk, bayiku adalah seorang bayi yang aneh dengan dua buah
kepala hingga waktu tak berbatas setelah kematiannya. Dan jika ada sesosok
raksasa muncul sebagai algojo pada saat itu, bayi dengan dua kepala itu pasti
akan terlihat olehnya, dan ayah bayi itu juga.''
Merasakan
perutnya mual, Bird membenamkan diri dalam tidurnya seperti sebuah pesawat
terbang yang jatuh dari angkasa, tidur bisa membuat kita tertutup dengan cahaya
impian. Dalam sisa-sisa ingatan kesadarannya, Bird mendengar bayang-bayang
suara mendiang ibunya berbisik: "Bird, kau benar-benar akan merasa
ngeri!'' Bird melemparkan tubuhnya ke belakang seolah-olah sebuah beban berat
tergantung di kepalanya dan, seraya mencoba menutup kedua lubang telinganya
dengan ibu jari, dia membenturkan sikunya pada mulut Himiko. Dengan meneteskan
air mata karena kesakitan, Himiko menatap melalui kegelapan pada kawan tidurnya
yang mengejang tak wajar. Himiko bertanya-tanya apakah Bird telah salah
menafsirkan telepon dari rumah sakit. Mungkin bayi itu telah benar-benar mati;
lagi pula, bagaimana mungkin dia menyembuhkan dengan hanya memberi susu
terus-menerus? Dan tidakkah mereka ingin agar Bird ada di rumah sakit untuk
merundingkan soal operasi?
Kawannya
tertidur di sampingnya dengan tubuh terlentang tak nyaman bagaikan seekor orang
utan di kandang. Bau wiski yang menyengat tercium dari dengus napasnya, terasa
konyol dan menyedihkan bagi Himiko. Tapi tidur akan menjadi istirahat sejenak
sebelum kehebohan esok pagi. Himiko bangkit dari ranjang dan menyentakkan
tangan dan kaki Bird; dia begitu berat seperti raksasa, tapi tubuh itu tak
melawan. Ketika Bird terbaring terlentang dengan leluasa di atas ranjang
sehingga dia bisa tidur lebih nyaman, Himiko menyelimuti dirinya dengan sehelai
seprei dengan gaya seperti seorang filsuf Yunani dan beranjak ke ruang tengah.
Dia hendak mempelajari peta Afrika hingga saat matahari terbit.
Kenzaburo
Oe, dilahirkan di Shikoku pada tahun 1935. Dia adalah peraih Hadiah Nobel
Sastra tahun 1994. Pengarang Jepang ini mempublikasikan cerpen pertamanya pada
saat masih kuliah dan kariernya terus melesat dari tahun ke
tahun.BeberapakaryapentingnyaantaralainThe Catch (1958)
yangmemenangkanAkutagawa Prize, A Personal Matter (1963)dan Football in the
First Year ofMannen (1967) yangmemenangkanTanizaki
Prize.CerpendiatasditerjemahkanolehAntonKurniadari A Personal Notedalambuku A
Personal Note; Groove Press,New York, 1995,halaman 132-136.Cerpen ini
diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Anton Kurnia.
Hari
itu tanggal 15 November tahun 1999 dan Putri seharusnya tahu bahawa secara
ilmiah, nyawa saya sebenarnya sudah melayang alias tercopot atas sebab usus
saya yang diserang oleh yang namanya kanser
dan nyatanya saya saat ini masih ada dan berdiri di sini dan keadaannya
sebenarnya belum pun bisa sembuh sepenuhnya yang terkadang datang sakitnya
secara tiba-tiba yang lalu menyebabkan saya pengsan dan terlantar di ranjang
untuk beberapa waktu lamanya dan memang begitulah keadaan saya.
Seharusnya
demikianlah yang telah dijadualkan seperti yang diperkatakan oleh Dr. Hilmi
yang merawat penyakit saya sejak beberapa tahun yang dilewati, tapi Putri
tentunya tahu/malah amat tahu yang saya sememangnya selalu saja yakin sangat
dan percaya benar bahawa yang namanya Tuhan jualah yang menentukan segala apa
pun bentuk kehidupan yang bakal saya hadapi nantinya disamping saya berusaha
dan terus selalu berdoa kepada Dia Yang Maha Berkuasa segala.
Saya
ulangi sekali lagi bahawa yang jelas dan pasti sangat seperti yang saya
nyatakan bahawa Tuhan jua yang menentukan panjangnya umur saya yang ternyata
hingga sampai ke saat ini dan tentunya keadaan sedemikian berlaku jua akibat
doa dan restu kawan-kawan yang cukup baik sekali terhadap saya alias selalu
atau seringkali saja memberikan saya perangsang atau semangat untuk melawan
kanser yang sudah sekian lama menyerang dan mendiami usus saya tanpa keizinan
sememangnya.
Sekarang
ini saya kembali lagi ke sini. Iya, saya kembali lagi ke sini yang keadaannya
semacam penjara besi melulu yang cukup merisaukan dan menakutkan saya secara
total pada hakikatnya dan untuk makluman Putri bahawa saya dihantar ke sini pun
tanpa saya sedari langsung dan bila saya sedar tau-tau saya sudah berada di
ranjang dan saya sendiri dimaklumkan yang saya dihantar kala sakit usus saya
semakin menekan yang menyebabkan saya biasanya pengsan dan kala itu saya selalu
tidak ingat apa-apa langsung yang berlaku di sekeliling saya dan sekarang yang
pasti keadaannya benar-benar menjadikan saya tidak menentu disamping saya
sebenarnya langsung tidak punya kemampuan untuk menahan sakit yang selalu
menekan-nekan apa lagi mahu melawannya alias menyingkirkannya untuk maksud
tidak mendekati saya.
Putri
tahu bahawa terasakan sangat yang seluruh isi perut saya agak memulas-mulas
yang semacam mahu keluar. Iya terus memulas-mulas yang semacam ada peperangan
yang maha mengerunkan di dalamnya. Sakit dan amat sakit sekali bagai mahu
tercabut nyawa saya dibuatnya. Rasanya tak dapat diperkatakan bagaikan
keadaannya dan tidak bisa dibayangkan langsung sakit yang dimaksudkan.
Iya,
sakitnya bukan main hebat yang terkadang menyebabkan saya berpeluh dan berpeluh
yang terkadang jua langsung saja tidak sedarkan diri sambil mengeletar dan
terkapar. Mengeletar dan terkap ar yang lalu atau akhirnya seluruh badan saya
selalunya menjadi lemah dan tak termaya langsung, apa lagi untuk bergerak
seperti yang orang lain lakukan saban waktu.
Putri
tahukah bahawa saya sekarang ini harus berjuang untuk menghadapi hidup yang
sisa ini? Iya harus berjuang sangat. Berjuang untuk melawan maut yang terasakan
ada di mana-mana akibat kanser yang tidak pernah sedikitpun mahu menjauhkan
diri dari saya, apa lagi mahu meninggalkan usus saya? maut yang kata doktor
bakal mendekat selalu membayang yang menyebabkan semua orang bermuka tegang,
ngeri, pilu yang amat sangat melihat saya sedemikian rupa
kelihatannya.</font></span></p><div
height="0"></div><div height="0"></div><p
width="0" align="left"><span><font
size="3" face="Times New Roman"
color="#000000"><br></font></span></p><div
height="0"></div><div
height="0"></div><p width="0" align="left"><span><font
size="3" face="Times New Roman"
color="#000000">
 </font></span></p><div
height="0"></div><div height="0"></div><p
width="0" align="left"><span><font
size="3" face="Times New Roman"
color="#000000"><br></font></span></p><div
height="0"></div><div
height="0"></div><p width="0"
align="left"><span><font size="3"
face="Times New Roman" color="#000000"> Saya sebenarnya
semacam tidak terdaya lagi melawannya, malah akan mudah menyerah kalah dan
memangnya tidak terdaya melawannya dan selalu saja saya berfikir dan bertanya
bahawa kenapa saja Tuhan Yang Maha Berkuasa itu tidak mengambil nyawa saya
tanpa menyakitkan saya sebegini rupa dan bukankah kalau-kalau nyawa saya Ia
copotkan yang tentu saja sakitnya hanya sekali saja dan kapan saya nyatakan hal
ini kepada putri, rupanya Putri amat memarahi saya dan mengatakan bahawa saya
kononnya suka sangat menyerah kalah tanpa mahu melawan dan yang paling tidak
saya ingini bahawa Putri mengatakan yang saya ini seorang karyawan yang maha
pengecut sangat. Astaga, apakah memangnya saya ini maha pengecut sangat seperti
yang diperkatakan oleh Putri?
Kata-kata
Putri itu sebenarnya tidak benar dan kelihatannya ia punya maksud sesuatu yang
lain. Memangnya tidak benar dan saya tahu bahawa Putri sengaja memperkatakan
kenyataan itu dengan harapan saya bakal marah dan kapan nantinya saya marah,
maka diharapkannya saya bakal berusaha untuk membuktikan yang saya bukanlah
memiliki sikap seperti yang dinyatakannya oleh Putri. Saya tahu sangat tujuan
Putri berkata sedemikian. Ah, lupakan saja hal itu.
Iya,
sekarang inipun saya terus saja bergulatan dengan segala macam kesakitan yang
amat sangat sambil saya pegangi perut saya yang sakitnya selalu saja ada di
mana-mana. Secara naluriah saya selalu saja meraba-raba dan kemudian mencari
benjolan yang selalu saja saya rasakan ada. Iya, memangnya ada. Sekejap ada dan
sekejap pula tidak ada. Begitulah.
Kadang-kadang
terasakan sangat ia ada dan kadang-kadang tidak ada. Sekejap ada dan sekejap
tidak ada. Sekejap m enghilang yang entah ke mana perginya. Kemudian selalu
saya menekan-tekan dengan harapan yang sakit itu dan pedihnya berkurangan.
Terkadang saya tekan ke kanan sedikit dari pusar, kalau saya tekan serasa
semakin sakit, semakin pedih, semakin ngilu. Iya semakin sakit sangat. Sakit
sangat. Teramat sakit.
Memang
sakitnya semakin menjadi-jadi.Terus semakin sakit dan sakitnya amat menggigit,
sakitnya terlalu menyeksakan, pedihnya terasakan semacam membawa kepada
kematian/kematian yang tentu saja belum sangat saya inginkan kala memikirkan
masih banyak yang perlu dan belum terlaksanakan.
Barangkali
perlu sangat saya jelaskan kepada Putri bahawa semalaman ini saya sebenarnya
tidak bisa tidur kerana bukan saja akibat sakit yang saya deritai, malah
terlalu banyak yang harus saya fikir-fikirkan sangat yang tentunya ada beribu
macam atau bermacam-macam dan tentunya tidak pernah difikirkan orang, meskipun
Dr. Hilmi sendiri sudah memberikan saya pil penenang untuk maksudnya supaya
saya sesegeranya lena tidur yang membolehkan saya dapat menghimpunkan sedikit
tenaga saya yang sisa dan memang sekarang ini saya agak lemah dan teramat lemah
sekali, tapi tidak pula sedemikian jadinya. Ah, entahlah apa lagi yang harus
saya lakukan untuk menghilangkan rasa sakit yang selalu menekan-nekan yang
menyebabkan saya seringkali saja tidak bisa langsung untuk menahannya yang
terasa sangat semacam nyawa saya bakal melayang.
Sekarang
ini saya memang bersendirian di sini. Iya, memangnya bersendirian di sini tanpa
sesiapapun. Di sini ini keadaannya saya anggap sebagai penjara yang memang
tidak saya sukai langsung, tapi terkadang ada kalanya saya suka sangat. Kala
tidak suka bilamana keadaan saya semacam diganggu sangat terutama sekali kala
ramai sangat yang mahu datang dan bertanya hal-hal yang bukan-bukan terhadap
saya yang tentunya pertanyaan yang tidak saya sukai bakal menambahkan berat
beban yang saya tanggung segala. Itulah yang tidak saya suka dan saya menjadi suka
pula kapan kehadiran saya di sini tanpa sesiapa yang mahu melihat saya atau
saya suka kala saya dibiarkan sendirian yang ertinya tidak diganggu oleh
sesiapapun dan tentunya tidur saya akan pasti tenang-tenang saja.
Kamu
bukannya tidak tahu Putri bahawa saya sendiri tidak mahu sesiapapun untuk
datang melihat saya sedemikian. Memang begitulah sejak dulu, apa lagi melayan
saya sebagai orang yang amat sakit atau melayan saya sebagai si tua renta yang
menunggu saatnya untuk mati. Iya, meskipun pada hakikatnya saya merasakan amat
sunyi dan sepi sekali di sini, tapi saya cukup merasa berbahagia sangat di sini
kecuali/saya ulangi lagi yang saya tidak suka sangat kerana dilayan sebagai
orang sakit yang ada bermacam larangan dan segala macam pantang dan kalau memang
Tuhan berkehendakkan saya sekarang ini untuk hadir di sisi-Nya, maka saya rela
dan mengizinkan sangat untuk menyerahkan nyawa saya kepada Dia.
Rasa
sunyi yang mengelilingi saya pada saat ini cukup mengingatkan saya tentang
kematian yang tentunya setiap orang bakal menghadapi hakikat kematian itu
secara sendiri tanpa ditemani oleh sesiapapun/baik mereka yang selalu berjanji
untuk sehidup semati yang sebenarnya/padahal selalunya janji yang diperkatakan
diikat dan disimpul mati selalu saja tidak menjadi kenyataan. Ah, kan semua
yang dinyatakan sekadar permainan kata-kata dan bukankah Putri pernah
menyatakan sebegini:Indahnya sangat bahasa, seindah niatkah? hati-hati kerana
sehari pahitnya berpanjangan Apa maksudnya duhai Putri? Yalah tu..he..he. Masih
ingatkah kamu duhai Putri?
Iya,
memangnya keadaan di sini benar-benar teramat sunyi sekali yang semacam kala
berada di dalam hutan bambu kala malam nun jauh di kampung halaman Pak Karno di
Pedalaman. Iya terlalu sunyi sekali dan memang saya sendiri tidak mahu seorangpun
datang untuk melihat saya/meskipun anak-anak saya yang cukup baik kepada saya
sejak dulu hingga sekarang. Bukan kerana apa-apaan, tapi memangnya saya sendiri
tidak mahu menyusahkan mereka. Iya, saya amat kesihan sangat kepada mereka yang
belum tahu apa-apa lagi kecuali yang sudah cukup dewasa dan tahu sangat akan
keadaan saya sejak sekian lama.
Putri
tahu kenapa saya berbuat dan memutuskan hal sedemikian? Iya, memang terkadang
saya sendiri tidak berniat untuk menyatakannya, tapi sesungguhnya saya tidak
mahu melihat anak-anak saya hidup dalam keadaan yang tertekan dan tertekan
alias susah hati atau tidak tenang dan biasanya kalau mereka hadirpun saya
sebenarnya selalu berusaha sangat untuk kembali membangunkan semangat saya yang
telah hilang dengan harapan mereka semuanya tidak terlalu runsing sangat
terhadap diri saya, apa lagi keadaan saya sejak kebelakangan ini.
Saya
rasakan jururawat yang bernama Siah itu memangnya agak semalaman tidak bisa
tidur atau melelapkan matanya kerana asyik menjaga dan memerhatikan saya yang
memang sudah sekian lama terlantar di ranjang. Siah memang sudah mengenali saya
dan suatu waktu ia menyatakan sudah lama mengenali saya atas sebab sesuatu yang
saya hasilkan selama ini. Tentu saja Siah selalu membaca apa saja yang saya tulis.
Begitukah?
Siah
memangnya jururawat yang baik sekali dan secara kebetulan memangnya antara saya
dan dia berjiran. Itulah yang menyebabkan ia terlalu banyak berbudi kepada saya
atau mengambil perhatian yang lebih sedikit dari para pesakit lain. Sebenarnya
saya sendiri mengharapkan sangat agar ia tidak usah terlalu sangat menyusahkan
dirinya akibat memerhati dan menjaga saya. Saya selalu saja memperkatakan
bahawa saya semema ngnya tidak mahu dilayan seperti orang yang sakit alias mahu
mati.
Siah
memang terlalu baik kepada saya. Sesungguhnya ia punya hati yang cukup mulia
dan tidak ada lagi yang baik sangat selain dia yang namanya Siah yang saya
kenali itu kecuali Putri yang hadir dalam hidup saya sejak bertahun-tahun
lamanya.
Meskipun
Putri tidak selalu menghubungi abang lantaran yang kita punya tugas
masing-masing yang harus selalu saja diselesaikan, tapi perkembangan dunia
abang selalu saja saya ikuti dan tanya-tanyakan kepada kawan-kawan yang
terdekat Tulis Putri kepada saya dua bulan lalu yang dikirim lewat email. Iya,
di mana kamu sekarang duhai Putri?
Siah
yang sejak sekian lama dekat saya kemudiannya memegang tangan saya dan sesudah
itu ia mengusap-usap dahi saya yang selalu dirasakanya amat dingin dan
terkadang berpeluh. Siah kira saya sedang asyik tidur ketika itu dan saya
sendiri bisa merasakan sentuhan tangannya dan saya tahu sangat bahawa subuh
tadi dia bersembahyang yang tentu saja asyik mendoakan saya melulu walaupun dia
sendiri tidak pernah menyatakannya kepada saya.
Saya kira kalau saya tidak silap bahawa hal
doa Siah terhadap saya pernah suatu siang dibisikkan oleh Dr. Hilmi ke telinga
saya sambil menyatakan yang Siah terlalu menyukai apa saja yang saya tulis dan
saya ketika itu hanya diam mendengar kenyatan Dr. Hilmi sambil tidak berkata apa-apa
pun, tapi saya tahu mereka hanya mahu menyenangkan hati saya melulu dan
kata-kata itu sebenarnya memang menyebabkan saya punya keinginan sangat untuk
terus hidup sebab kehadiran saya semacam dihargai dan secara tidak langsung
penghargaan itu kian memperkuatkan semangat saya untuk terus melawan maut yang
selalu membayang dalam fikiran saya sejak sekian lama.
Sesekali
saya bisa menangis yang semacam anak kecil yang dimarahi oleh ibunya kapan
mengenangkan hal saya yang sekian lama terlantar di ranjang tanpa sesiapa pun
yang hadir di sisi saya dan kemudian begitu senang pula air mata saya keluar
yang bukan kerana apa-apa, tapi terasakan sangat bahawa betapa sia-sianya hidup
saya yang sekian lama saya lewati selama ini tanpa apa-apa kerana selalu saja melupakan
adanya Dia dan saya berusaha sangat untuk maksud menahan deras air mata saya
agar nantinya bisa mengelakkan ia dari terus dilihat oleh yang nantinya datang
untuk menemui saya.<
Kenapa
Putri begitu baik kepada saya sehingga Putri berusaha memohon kepada Tuhan agar
malaikat Izrail tidak mencabut nyawa saya? kata saya kala saya bersendirian dan
saya sendiri memang selalu saja membisikkan kepada Tuhan supaya memberikan saya
kesempatan yang banyak untuk memperbaiki semangat saya termasuk laluan yang jauh
sangat tersesat di persimpangan jalan untuk maksud bersembahyang lebih banyak,
kerana biasanya kala sesiapapun sembuh terutama sekali seperti saya ini akan
pasti selalu saja lupa tentang adanya Dia Yang Maha Berkuasa segala. Jadi, saya
berjanji bahawa saya akan melakukan sesuatu yang terbaik dalam hidup saya
sebelum saya mati nantinya.
Saya
lihat Putri yang tiba-tiba ada dekat saya masih menundukkan kepalanya dan asyik
terus menatap wajah saya yang tentunya agak pucat dan lemah. Pucat dan lemah.
Iya, kapan Putri sampai di dekat saya? Tanya saya kepada Putri dan saya kira
tentunya Putri tidak bisa mendengar apa saja yang saya tanyakan. Apakah
memangnya saya bertanya?
Saya lihat kepalanya semacam bergoyang ke kiri
dan ke kanan menurut irama zikirnya yang menyebabkan saya tersangat malu kepada
Putri yang dulunya ia adalah seorang guru yang beragama kristian yang amat taat
dan tiba-tiba dapat menjadi seorang muslim yang sedar dan penuh keinsafan,
sedang saya pula entah susah sangat mahu diperkatakan/walaupun saya dilahirkan
dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang beragama/tetapi yang jelas saya
sendiri seringkali saja lupa tentang adanya Tuhan Yang Esa jika selalu saja
bergelimang dengan kesenangan yang berlebih-lebihan. Inilah akibatnya kalau
Tuhan selalu memberikan kesenangan yang tidak sepatutnya saya dapatkan. Aduh,
kenapa saya jadi sedemikian?
Tiba-tiba
entah bagaimana dalam keadaan sedar dan sesekali tidak sedar, saya bisa takut
sangat akan saat kematian saya seperti yang dijanjikan/seperti yang dijelaskan
oleh Dr. Hilmi yang merawat saya sejak sekian lama. Saya pada hakikatnya
sememangnya tidak mahu mati dan saya memangnya tidak mahu sendiri di dalam
kubur nantinya, apa lagi tanpa Putri yang cukup saya ingati selalu/saya memang
tidak mahu dihantar ke kubur yang tentunya bakal dingin dan sepi. Sepi dan
dingin. Dingin dan sepi sekali. Sempit sekali.
Ketahuilah
Putri bahawa saya sememangnya amat takut sekali. tersangat takut untuk
maksudnya dioperasi dan memang saya tidak mahu dioperasi sebab setahu saya operasi
merupakan jalan terakhir yang biasanya terpaksa kemudiannya bakal menghadapi
kematian. Itu kata kawan-kawan saya yang asyik menasihati saya supaya
membatalkan saja operasi itu sebab kira-kira seminggu lalu Pak Suki sendiri
menjadi mangsa operasi dan terpaksa menemui ajalnya, padahal sebelumnya ia
begitu bersemangat sangat kala berbicara dengan saya pada suatu sore tentang
seni muzik biola yang selalu menemani hidupnya yang tinggal sisa.
Manalah tahu kalau memang dijadualkan untuk
saya dioperasi esok hari dimana dengan secara tiba-tiba saya langsung saja mati
meski pun secara terpaksa/ketika dibius misalnya dan tentunya tidak bisa
menyebut yang namanya Tuhan, apa lagi untuk menyebut kalimah yang harus saya
ucapkan sebelum saya mati nantinya. Iya, rasanya saya semacam diburu sangat
oleh bayang-bayang kematian yang menyebabkan saya amat ketakutan sekali. Iya,
amat takut sekali. Bantulah saya Putri!
Iya,
sebaiknya saya minta Putri datanglah dan bantulah saya untuk menyatakan kepada
Dr. Hilmi supaya saya tidak dioperasi.Tolong katakanlah segera bahawa saya
sememangnya berkeberatan sangat untuk dioperasi kerana terasakan sangat yang
saya semacam mahu mati.
Ah, tapi yang jelas Putri sekarang ini sedang
berada di sisi saya. Iya, Putri memang berada di sisi saya. Kapan Putri datang?
Kenapa tidak Putri beritahukan saya sebelum datang? Apakah memangnya Putri yang
sekarang duduk dekat saya? Saya lihat Putri terus menatap wajah saya tanpa
bicara apa-apa tapi saya lihat Putri terus saja berdoa dan mengharap sangat sesuatu
untuk maksud saya segera sembuh seperti sebelumnya. Begitukah Putri? Iya tentu
sekali.
Saya
memangnya semacam merasakan sedang berlari tunggang-langgang akibat dikejar
oleh malaikat maut yang galak matanya dan ganas sangat wajahnya serta amat
menakutkan saya yang selalu saja mengekori saya ke mana saja saya berpergian.
Kenapa kamu harus mengekori saya duhai sang Malaikat Maut? Kamu jelasnya
membikin saya dalam dunia ketakutan yang amat sangat dan kemudian akibat
ketakutan itulah saya langsung saja melanggar apa saja yang ada di depan saya
untuk maksudnya saya menyelamatkan diri saya dari yang namanya kematian dan
akhirnya saya menjerit sekeras-kerasnya yang lalu segera pula meloncat dari
tempat tidur dan tiba-tiba saya tersentak kala Putri memegang tangan saya dan
kemudian mengusap-usap dahi saya yang berpeluh-peluh dan dingin sekali. Kamukah
Putri yang ada dekat saya sekarang ini? Bukankah Putri lagi kuliah dan bakal
selesai dalam waktu yang terdekat ini? Putri tidak menjawab pertanyaan saya?
Kenapa? Apakah Putri mendengar yang saya ini bertanya?
Tiba-tiba
semua yang saya lihat menjadi kabur dan berkunang-kunang. Kabur dan
berkunang-kunang. Saya terus saja membuka mata, tapi semacam tidak terdaya
langsung/ sesekali bisa saya dibuka, tapi memangnya amat kabur sekali
kelihatannya. Rasanya saya sedang melihat Putri duduk di dekat saya/di pinggir
ranjang dan saya melihat ada beberapa orang doktor yang saya sendiri sudah lupa
namanya kecuali Dr. Hilmi dan jururawat yang namanya Siah itu.
Kemudian
saya melihat ada beberapa orang teman-teman saya mengelilingi saya sambil
membaca sesuatu yang entah apa dan mulut mereka terkumat kamit. Apa yang mereka
baca dan apa yang mereka doakan untuk saya? Iya, saya ingat mereka semacam
membaca surah yasin yang memang selalu dibaca kala seseorang tengah berhadapan
dengan maut seperti saya. Apakah saya memang berhadapan dengan maut? Saya tidak
tahu, tapi memang malaikat maut itu selalu membayangi hidup saya.
Kemudian
saya langsung saja mendengar suara lembut Putri yang saya kenal sejak sekian
tahun dulu/kala ia masih belajar di Maktab Perguruan di pedalaman. Iya, kenapa
tiba-tiba Putri datang dalam saat-saat saya sedemikian jadinya? Apa yang Putri
mahu perkatakan kepada saya? Apa? Saya tidak mendengar dan kata-kata Putri
memang kurang jelas. Maafkan saya Putri. Maafkan saya. Dan apakah Putri
memangnya berkata-kata?
Putri
telah datang dalam hidup saya. Kenapa Putri harus datang? Iya, memang Putri
yang datang dalam hidup saya. Benarkah atau saya sekadar bermimpi? Saya
tiba-tiba jadi sedih, pilu dan kemudian segera pula menangis. Saya menangis
bukan kerana apa-apa, tapi pada saat-saat semacam ini tiba-tiba Putri datang
dan memang ia selalu datang bila mana saya seringkali dalam kesusahan. Memang
Putri terlalu baik. Iya, terlalu baik. Memangnya yang sekarang dekat saya
adalah yang namanya Putri. Memang dan saya pasti sangat. Bukan bermimpi.
Putri
benar-benar datang dan sedang menghadapi saya sekarang ini.Kononnya telah
dikatakan sendiri yang Putri telah bermimpi minggu lalu yang saya sedang sakit
tenat tanpa sesiapa di samping saya dan tanpa sesiapa yang memperdulikan saya
dan memangnya sedemikian kenyataannya sebab saya sendiri memang tidak mahu
memberitahukan kepada sesiapapun kala saya dihantar di tempat yang memang tidak
saya sukai.
Wadoh,
rupanya Tuhan telah membicarakan keadaan saya lewat mimpi kepada Putri. Tuhan
memang terlalu baik kepada saya hingga saya sendiri masih bisa hidup sekalipun
telah ditentukan yang saya seharusnya sudah mati pada November tahun lalu.
Terima kasih duhai Tuhan!
Putri
terus berkata-kata dan nyatanya tidak henti-henti membicarakan tentang mimpinya
yang rupanya menjadi kenyataan. Saya terus saja menangis dan terus menangis.
Bukan kerana sedih atau atas sebab saya terlantar di ranjang, tap i atas sebab
terlalu terharu akan kebaikan yang diperlihatkan oleh teman-teman lain selain
Putri dan Siah, apa lagi kala saya menghadapi keadaan semacam seperti sekarang
ini.
Putri
bertanya tentang kawan-kawan saya yang dulunya selalu bersama saya dan sekarang
diberitahukan kepadanya asyik sangat menjauhkan diri dari saya, apa lagi kala
kematian saya kian hampir dan semakin mendekat. Ah, saya tidak mahu menjawab
pertanyaan itu sebab tidaklah penting sangat. Saya diam saja dan kerana mimpi
yang ngeri itulah Putri segera datang mendekati saya dan sanggup pula
meninggalkan kuliahnya sekadar mahu menjenguk saya yang entah bakal hidup atau
bakal mati nantinya.
Iya, memang tak siapa yang tahu kapan saya
kembali kepada-Nya dan memang secara kebetulan yang saya sedang melawan maut
alias berhadapan dengan maut yang tentu saja akan hadir pada bila-bila masa
saja atas perintah Yang Maha Berkuasa. Ah, bagaimana pula kalau memangnya saya
segera menemui Dia?
Kehadiran
Putri sekarang ini cukup bermakna bagi saya dan sekarang saya amat takut sekali
kalau saya nantinya mati akibat dioperasi. Saya takut dioperasi dan saya tidak
mahu sama sekali Kata saya dalam keadaan sedar dan sesekali tidak sedar. Apakah
Putri mendengar kata-kata saya?
Tenang-tenanglah saja.. Tidak usah takut
kerana kan putri sudah berada di sisi kata Putri selamba. Iya kata-kata Putri
benar-benar memberikan semangat kepada saya untuk terus hidup dan memang saya
berusaha untuk terus hidup dan menikmati makna/erti kehidupan ini bersama Putri
seperti yang pernah dijanjikan sepuluh tahun yang dulu. Putri tentunya amat
tahu segalanya. Putri ingatkah itu?
Tidurlah sambung Putri lagi sambil ia pegang
tangan kiri saya. Terasakan pegangannya amat perlahan sekali yang tentu saja
ditakutinya pegangan itu mengganggu tidur saya. Iya, saya amat merasakan
pegangan itu. Memang jelas yang ada dekat saya ialah yang namanya Putri, bukan
orang lain. Memangnya dia adalah Putri. Iya, alangkah bahagianya saya.
Tidurlah?pinta
Putri lagi.
Tidak usah saya disuruh tidur dan nyatanya
saya tidak akan tidur. Saya takut sekali ketika nantinya saya tidur kelak saya
didorong pula ke kamar operasi. Demi Tuhan dan ketahuilah Putri bahawa yang
saya langsung tidak mahu dioperasiKata saya serius. Putri tidak menjawab, tapi
terus saja melihat wajah saya. Yang pasti Putri amat merasa serba salah segala.
Demi putri dan kawan-kawan yang masih
sayangkan abang, lebih baik saja dioperasi dan saya yakin bakal tidak ada
apa-apa, lagipun saya sudah minta izin pada Dr. Hilmi yang saya akan menunggu
abang di dalam kamar nantinya, jadi abang tidak usah khuatir sangat saya lihat
Putri semacam menggeleng-gelengkan kepalanya yang lalu terdengarlah nasihat
para doktor yang merawat saya sejak minggu lalu untuk maksud segera minta izin
untuk melakukan operasi dan tidak lama kemudian/maksudnya sesudah itu saya
tidak lagi mendengar apa-apa selain pasti bahawa kalaulah saya dioperasi, maka
saya akan pasti mati. Iya akan pasti mati.
Saya memang menolak untuk dioperasi dan kerana
itu kapan saja dimasukkan ke rumah sakit, saya akan segera mengharapkan sangat
diizinkan untuk pulang segera kerana rumah sakit sebenarnya menjadikan saya
semakin bertambah sakit. Rumah sakit bukan maksud mahu menyembuhkan saya dari
sakit, tapi rumah sakit sebenarnya dirasakan semakin menambahkan saya bertambah
sakit dan segera kambuh semula. Iya, itulah tolakan yang muktamad dan tolakan
itu merupakan kemestian yang harus dipatuhi oleh semua orang.
Saya
memang takut sangat dan terasakan kalau nantinya dioperasi saya bakal mati.
Berulangkali saya rasakan keadaan yang bakal terjadi. Memang saya amat takut
sangat. Saya berusaha memegang tangan putri erat-erat dan putri hanya
mendiamkan diri sama seperti sepuluh tahun yang lalu kala pertemuan pertama
yang tentunya Putri sendiri tahu.
Iya,
cuba saja Putri ingat-ingatkan peristiwa itu seperti yang selalu saya
perkatakan. Ah, saya lihat Putri agak malu yang menyebabkan tidak mahu berkata
apa-apa kecuali menyatakan yang cerita itu terlalu syok untuk dikenang kembali,
tapi saya lihat dalam matanya ada rasa sayu, ada sedih yang amat sangat dan
tiba-tiba hening seketika. Kenapa Putri jadi sedemikian?
Saya sayangkan kamu Putri sebab kamu terlalu
baik sangat dan kerana itu saya tidak mahu dioperasi sebab kalau dioperasi
tentunya saya akan mati dan bila saya mati, tentunya saya dan Putri bakal
berpisah dan saya tidak mahu perpisahan antara kita terjadi lagi sebab
perpisahan bermakna kematian Putri terdiam, sedih, terharu dan tiba-tiba saya
lihat putri menangis. Kenapa Putri menan gis? tapi saya rasa Putri semacam
sengaja mahu menyembunyikan rasa sedihnya dan sempat menyatakan bahawa katanya
hidup ini terlalu sengkat untuk dimengerti. Iya, kata-kata itulah yang selalu
dicatatkan dalam surat-surat Putri sebelum ini. Apa maksudnya?
Saya
yang sejak tadi asyik memerhatikan Putri secara tiba-tiba ikut
menangis/menangis bukan kerana apa, tapi kerana mereka yang ada di sekeliling
saya terlalu baik sangat kepada saya. Kenapa mereka baik sangat kepada saya?
Iya, kebaikan semacam inilah yang selalu menjadikan saya tidak tenang sebab
selalu saja semacam berat membawa beban budi, tapi Tuhan selalu saya harapkan
akan memberikan berjuta rahmat kepada mereka yang terus mengasihi saya.
Saya
tahu yang abang tidak tenang sekarang ini dan sebaiknya abang tidur saja tanpa
memikirkan apa-apa yang menyebabkan sakit abang semakin bertambah dan
percayalah saya tidak akan ke mana-mana, malah saya akan terus menjaga abang
dan mempastikan yang abang kembali sihat seperti sepuluh tahu dulu Kata-kata
Putri semacam bermain-main di telinga saya. Iya, saya ingat sangat akan
kata-katanya itu. Memangnya itulah suara Putri, bukan suara orang lain. Memang
suara Putri. Amat pasti segala. Saya tidak salah lagi. Memang pasti sangat.
Saya
tidak mahu tidur Putri dan tidak akan tidur. Demi Tuhan, batalkan saja operasi
itu. Rasanya esok adalah hari nahas saya. Kalau Putri memang mahu membunuh
saya, maka lakukan saja operasi itu, tapi yakinlah bahawa kalau memang
dilakukan jua, itu bermakna pertemuan kita akan berakhir di sini Putri bingung.
Benar-benar binggung. Amat binggung sekali dan saya memang terisak-isak
menangis yang semacam anak-anak yang kehilangan sesuatu.
Saya merasakan ada tangan lain yang mengusap
air mata saya dan saya kenal benar tangan itu. Iya saya kenal benar dan menurut
Putri kakak saya yang baru saja tiba dari Sembulan sedang menghadapi saya
bersama dua orang putera saya yang cukup baik kepada saya. Benarkah kedua-dua
putera saya hadir sama? Ah, yang pasti saya tidak dapat melihat mereka kerana
yang jelas yang saya lihat agak kabur sekali alias berkunang-kunang.
Iya,
saya tahu tangan yang mengusap itu milik kakak saya dan yang menghampiri saya
pula adalah jua adik kesayangan saya yang satu-satunya itu. Kenapa yang lain
tidak hadir sama? Ke mana dia sekarang ini? Siapa dia yang saya maksudkan?
Entahlah dan kenapa jadi demikian?. Tak apalah, saya sendiri tidak mahu
menyusahkan orang lain, apa lagi untuk melihat saya yang terlantar di sini. Tak
apalah Putri.
Tidak
apalah kerana saya sendiri tidak memerlukan sangat kehadiran yang lainnya sebab
saya sendiri lebih tidak suka didatangi oleh sesiapapun kala menghadapi saat
sedemikian rupa dan kerana itulah tahun lalu ketika saya dimasukkan ke tempat
sama telah saya pesan kepada Siah supaya tidak diberi tahukan kepada sesiapapun
yang saya ditahan di tempat sama dan hampir 10 hari saya terlantar tanpa
sesiapa dekat saya kecuali Siah yang memang terlalu baik terhadap saya. Terima
kasih banyak Siah!
Iya,
sekarang saya semakin lemah. Benar-benar lemah. Sakit terasakan di mana-mana.
Menusuk, menikam dan menusuk luati. Darah semacam terhenti mengalir ke
mana-mana. Jantung semakin guyah dan terasakan semacam enggan berdegup.
Degupnya sesekali terasakan terstop secara mendadak. Payah sangat untuk saya
mencari nafas yang hilang. Iya, kenapa saya sedemikian jadinya? Apa yang telah
terjadi dalam diri saya ini?
Saya
rasakan dunia ini semacam menghilang. Saya rasa dunia semacam tidak mahu
menerima kehadiran saya. Sakit semakin menikam. Iya, semakin menikam dan terus
saja menikam. Bisanya tidak pernah saya rasakan sebelum ini dan saya
benar-benar jadi lemah. Lemah yang tidak bermaya langsung. Benar-benar lemah.
Lemah sangat hingga saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mulut terasa berat
untuk berkata-kata. Memang tersangat berat untuk berkata-kata. Maha berat
segala.
Nafas
saya semakin sukar sangat didapatkan. Semakin hilang.Iya,semakinhilang
.Hilangentahkemana.Sesekali ada dan sesekali tidak ada. Sesekali ada dan
sesekali hilang terbang melayang. Sesekali datang dan sesekali menghilang dan
akhirnya saya hilang ingatan dan ubat bius rupanya menjalar ke mana-mana.
Menjalar ke otak saya, menjalar ke jantung saya, menjalar ke mata saya dan
sesudah itu saya merasakan sangat bahawa saya sudah berada di pangkuan malaikat
Izrail yang entah mahu ke mana saya dibawanya segala.
Selamat
tinggal kakak, selamat tinggal duhai kedua-dua putera saya. Selamat tinggal Dr.
Hilmi yang baik. Selamat tinggal Siah yang berbudi dan semuanya akan menjadi
teman baik seumur hidup saya dan saya tidak akan lupa sebab saya bukanlah
orangnya yang tidak mengenang budi langsung seperti orang lain.
Terima kasih segalanya dan rasanya kalian
tidak usah ragu dan khuatir sangat bahawa saya akan terus memperjuangkan hidup
saya seperti yang diinginkan oleh Putri dan kawan-kawan terdekat. S aya akan
memohon terus kepada Tuhan supaya nyawa saya tidak usah diambil atau segera
membatalkan untuk mencopot nyawa saya yang satu-satunya ini.
Saya
sebenarnya mahu ke luar daerah. Jauh mengembara. Mengembara di daerah yang
terakhir dikunjungi. Saya mahu pindah. Pindah ke suatu daerah yang nantinya
semua orang bakal ke sana. Iya, saya mahu pindah ke mana saja/asal tidak di
tempat sekarang ini.
Saya
mahu berjalan ke mana-mana saja. Saya mahu menikmati udara yang dingin. Saya
mahu merasakan tiupan angin senja yang lembut dan menyenangkan saya. Saya mahu
menyusuri pinggir pantai sambil berjalan melihat matahari senja yang terbenam
lewat di sebalik perbukitan dan sekaligus melihat cahaya kemerah-merahan yang
selalu saja berlari di permukaan ombak kala senja tiba.
Kamu
tahu Putri bahawa sebenarnya saya kepingin sangat mahu berpergian bersama kamu
melihat pantai, melihat kerikil-kerikil tajam, melihat ombak yang bermain di
gigian pantai dan menikmati angin senja dan kemudian memutuskan untuk tidak
mengizinkan perpisahan ada dalam diari kehidupan kita yang sisa.
Waktu
yang kita lewati telah memberikan kesan kepada diri kita. Iya, memang saya mahu
pergi bersama Putri sebab Putri adalah sama seperti matahari yang terbit di
ufuk timur kala pagi menjelma dan tentunya kehadiran Putri membawa sinar yang
sama sekali berbeda dalam hidup saya yang terlalu banyak sia-sianya.
Ah,
mana mungkin ini bisa terjadi kala kita berada dalam dunia yang berbeda.
Maafkan saya Putri. Saya sesungguhnya tidak terdaya melawan takdir yang
ditentukan. Takdir yang ditentukan oleh Yang Maha Berkuasa. Maafkan saya Putri.
Iya, maafkan saya. Maafkan saya. Saya mohon sangat. Mohon. Saya memangnya tidak
terdaya. Saya lemah dan terlalu lemah. Benar-benar Lemah. Amat lemah sekali.
Iya lemah sekali. Di mana saya sekarang ini? Di mana iya? Entahlah.
Lukisan Cerita Kelabu
Posted on 02.10 by Unknown
| No comments
LUKISAN CERITA KELABU
Oleh
Ilmi Solehati
Kubuka
daun jendela lebar-lebar, dari sini segala pemandangan dapat terlihat dengan
jelas. Lihat burung-burung itu, hinggap di dahan pohon malang. Ya, malang.
Karena setiap hari angin selalu menggugurkan daun-daunnya yang sudah mulai
menguning, kini yang tinggal hanya ranting-ranting rapuhnya saja, aku yakin
usianya sudah mencapai seabad. Beruntung
tak ada tangan jahil yang menebangnya dan menjadikannya suluh1 bakar. Alangkah indahnya menjadi
burung, sepagi ini sudah berpayungkan mentari. Lihat di timur sana bola kuning
raksasa itu sedang naik, perlahan. Kurasa ia datang lebih awal dari biasanya.
Dan embun menjadi kering karenanya. Lihat mawar itu, terlihat begitu segar pagi
ini. Menari-nari dalam terpaan angin yang lembut. Langit begitu bersih tak
berawan. Dan burung-burung terbang mengitarinya, semakin tinggi hingga menjadi
titik hitam dan menghilang dari pandangan. Dan aku sudah sangat tahu jam
dinding di kamarku sudah menunjuk angka tujuh kurang lima belas menit. Aku
menghirup nafas dalam-dalam, menelan oksigen untuk paru-paruku. Tiba-tiba pintu
kamar terbuka, Teh2 Amanda masuk mengganggu lamunan.
“Kau
tidak sekolah lagi?” sorot matanya tajam mengarah padaku. Aku menggeleng malas.
“Lucu
sekali, ayoh mandi!” bentaknya padaku seraya membanting pintu.
Mendengar
itu aku segera melompat ke kamar mandi. Kemudian cepat-cepat berbaju, tak bermake-up. Rambut kukuncir satu. Kuraih
kerudung yang menggantung di balik pintu. Secepat kilat aku meraih sepatu di
bawah ranjang tidur, kemudian bersepatu. Tak ada sarapan di meja makan, aku
segera menghampiri Teteh yang sudah
hampir sepuluh menit menungguku. Teteh tak
bicara, ia segera berdiri dan merapikan baju. Kupikir Teteh benar-benar marah padaku. Walau begitu, Teteh tetap mengantarku ke sekolah. Sialnya, waktu terasa cepat
bergulir. Jam menunjukan pukul tujuh. Aku belum lagi sampai di sekolah, sudah
pasti kesiangan.
“Sedari
dulu kau memang sudah manja dan lelet” tegasnya padaku.
*
Pukul
tujuh lewat dua menit, bel masuk sudah berdering dua menit yang lalu. Beruntung
gerbang belum sepenuhnya ditutup dan satpam masih memperbolehkanku masuk. Juga
kelasku tidak begitu jauh, cukup berjalan pelan dan tak perlu lari. Hari ini
Rabu. Seingatku, tak ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan, juga tak ada
ulangan. Aku berjalan santai seolah tidak terlambat, bahkan sempat kupetik dulu
bunga mawar di taman sekolah. Mencium wangi mawar akan membuatku lebih tenang.
Aku begitu suka dengan mawar. Sederet kelas perkantoran kulalui, masih
terdengar ramai jeritan anak perempuan, tandanya belum ada guru masuk, dan
kelasku ada diujung. Kuperlambat langkah setelah kudapati kelas begitu hening
seperti tak berpenghuni. Aneh, biasanya kelas selalu ramai seperti Bojong
meron3. Sejak kapan menjadi tertib
begini? Mengintip dari jendela menjadi satu-satunya cara untuk memastikan
keadaan di dalam baik-baik saja. Betapa terkejutnya aku, setelah tahu apa yang
terjadi di dalam. Bodoh. Aku telah melupakan hal yang sangat penting hari ini. Karenanya
aku menjadi ragu untuk masuk kelas. Aku mendadak panik, kuhirup lagi bunga
mawar yang kupegang. Aku mematung, tak menghasilkan sesuatu. Kini hanya ada dua
pilihan, tetap masuk atau kabur ke kantin. Gila, dua-duanya pilihan gila. Keadaan
itu telah membuatku tak dapat berfikir jernih. Tanpa kusadari, kaki melangkah
meninggalkan kelas. Membawaku ke pilihan kedua. Mawar masih ditangan, sudah
sedikit layu. Tak ada kulihat siswa
berkeliaran kecuali beberapa anak yang sedang praktek di kantin. Aku duduk di
meja selatan, meja paling ujung. Kemudian memesan makanan untuk sarapan.
Seandainya cermin yang kubawa dapat berbicara, mungkin dia akan mengatakan
betapa polosnya wajahku saat itu. Disaat orang lain sedang kebingungan ulangan
produktif, aku sendiri malah enak-enakan sarapan di kantin. Sungguh, aku benci
ini. Aku benci pilihan yang kubuat. Ah, seandainya aku tidak sekolah.
Tidak
sampai lima menit, pesananku sudah tersaji di depan mata. Sepiring nasi goreng
dengan telur mata sapi diatasnya dan air teh hangat. Aku tidak memakannya,
hanya mengaduk-aduk malas. Dan mawar itu tergeletak tak berdaya di atas meja.
Pikiranku melayang-layang tak menentu. Aku rasakan setiap butir nasi goreng
dihadapanku seperti soal-soal ulangan produktif, sangat banyak dan membuat
bingung. Dan air teh hangat itu seperti pencair suasana alias contekan.
Bayangkan, ketika harus menghadapi soal yang segudang, dan mencontek adalah
cara terbaik sepanjang sejarah. Ah, suram. Segera kubuang jauh-jauh pikiran
keruh itu setelah kudengar seseorang memanggil namaku berkali-kali. Aku bangkit
berdiri dan mencari sumber suara. Oh Yasmin, sahabatku. Ia melambaikan tangan
padaku, sangat lemah. Senyumnya pucat, tatapannya dingin. Aku dapat mengira,
penyakitnya sedang kambuh.
“Kau
sedang apa? Kebiasaan ya, makan di kantin saat ulangan.” tegurnya datar.
“Aku
belum sarapan, tidak akan konsentrasi nanti ulangannya kalau perut kosong.”
kataku mengada-ada. Yasmin mengerucutkan bibirnya, kemudian duduk disamping
kiriku.
“Kau
baik-baik saja bukan?” tanyaku kemudian.
“Lambungku
sakit, tadi tidak sempat sarapan.”
“Kau
boleh makan nasi gorengku, aku belum ingin makan.”
*
“Yang
kutahu matematika itu hanya angka nol sampai sembilan. Ada penjumlahan,
pengurangan, perkalian dan pembagian. Sederhana dan tak ada yang perlu
dipersulit. Jadi kapan kau akan berhenti membenci matematika?”
Lihat,
asap mengepul dari kepala. Bukan karena mentari yang begitu terik, dan
kaca-kaca jendela yang memantulkan panas luar biasa. Bukan juga karena
pohon-pohon yang mati terbakar mentari, dan air mancur di taman sekolah yang
tidak lagi menyegarkan. Tetapi ma-te-ma-ti-ka. Satu pelajaran yang paling
sedikit penggemarnya. Siapa yang tak kenal? Sungguh, aku sudah mengenalnya
sejak kelas satu SD. Tapi, hingga saat ini aku belum lagi jatuh cinta padanya. Entah
mengapa, aku sendiri tak tahu pasti.
Oh,
lihat papan tulis itu telah penuh dengan rumus-rumus. Dan aku tak tahu rumus
apa, sedari tadi aku tidak memperhatikan. Hanya ada satu-dua yang benar-benar
memperhatikan dan memahami, ada juga yang memperhatikan tetapi tidak paham, dan
selebihnya tidak memperhatikan dan tidak paham. Di ujung sana, Kuntum sedang
mendengarkan lagu yang diputar dalam headsetnya. Ada juga yang sibuk memainkan
ponsel dan laptopnya. Dan lihat, mereka sedang serius mengobrol, dan di
belakangnya Hana sedang asyik bermimpi.
“Sekarang
silahkan kumpulkan PR minggu lalu.” perintahnya tiba-tiba.
Dan
lihat mereka seperti tersihir, semua menghentikan kesibukannya. Hana bangun
dengan malas. Kuntum segera melepas headsetnya, kemudian memeriksa buku tugasnya dan ia tersenyum ketika mengetahui
tugasnya sudah dikerjakan. Dengan bangga ia membawa bukunya ke depan. Satu
persatu siswa mengumpulkan bukunya, sekejap meja guru sudah penuh dengan
tumpukan buku.
Hanya
aku yang tidak mengumpulkan.
Celaka.
Seingatku, aku belum menyiapkan buku pelajaran untuk hari ini. Tadi malam aku
terlalu sibuk menghitung bintang dan tadi pagi aku tak sempat. Mataku
membelalak, hatiku kembali memberontak. Aku mengacak-acak tas sekolahku. Bukan,
bukan sedang mencari buku matematika, tapi mencari mawar. Sial, tak ada mawar
kutemukan. Hei lihat, guru itu sedang mematung dihadapanku, bertolak pinggang.
Dan aku tersenyum manis, manis sekali.
“Eh
ibu, anu bu, buku saya ketinggalan.” kataku berbohong.
“Bagus
ya? Sebagai hukumannya, kerjakan soal di depan!” sentaknya tepat di depan
mukaku.
*
“Mengapa
orang-orang begitu takut dengan hujan? Padahal ia yang menyegarkan kembali
bunga-bunga, yang mencuci debu-debu jalanan, dan membuang keringat di dahimu.
Mengapa takut hujan?”
Hujan
menemani perjalanan pulangku. Menemani segala cerita pahitku hari ini, dan
segala kebodohan yang telah kulakukan. Aku berjalan dalam hujan yang semakin
deras. Tidak, bukan karena aku ingin
menyembunyikan airmata dalam hujan. Aku hanya ingin menghanyutkan segala
cerita pahitku bersama hujan.
Lihat,
kilatan cahaya seperti membelah langit. Guntur dan kilat bergantian menghiasi
hati yang gulita. Dan spanduk-spanduk usang masih saja terpasang disana-sini.
Warnanya telah pudar dimakan usia. Benar-benar merusak pemandangan. Ah,
tiba-tiba aku menjadi pemarah. Marah pada diriku sendiri. Yang tidak bisa
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk. Yang tidak menghargai waktu. Yang
selalu malas sekolah. Yang tidak pandai bersyukur. Kurasa, apa yang dikatakan
Yasmin selepas istirahat tadi benar, aku
harus berubah…
1Kayu bakar
2Sebutan untuk kakak perempuan dalam bahasa Sunda
3Pasar Tradisional di kota Cianjur
Selasa, 22 April 2014
Penjual Koran
Posted on 02.49 by Unknown
| No comments
Ini adalah cerpen saya yang belum terselesaikan
Sepeda tua bersama sisa hujan semalam berbelok ke jalan Godean, menuju Tambak Mas. Lima menit saja tiba ditempat tujuan, rumah bercat cokelat emas milik seorang pengusaha batubara terbesar se-Indonesia, Pak Dahlan.
"Ah kau rajin sekali nak!"
Dibukanya gerbang yang masih basah itu. Brata, lelaki kurus berambut pirang tersenyum ramah padanya. "Mungkin ini terlalu pagi ya tuan?" lantas tertawa. Kemudian disodorkannya koran Tribun Jogja. Koran yang baru terbit sejak April lalu, tebalnya 24 halaman. Dahlan duduk di kursi anyam rotan alam, membaca koran sambil sesekali diseruputnya kopi panas.
"Buru-buru sekali, hendak kemana?" tanyanya ketika melihat Brata sibuk memarkir sepedanya keluar. "kemana lagi" jawabnya singkat diiringi tawa ringan. Hujan masih rintik, langit mendung. Tak ada matahari. Sepertinya awan masih ingin menyelimuti bola raksasa itu di langit Yogya. Padahal sudah pukul 06.30. Sepeda Brata melesat dari Godean ke gang Bromo. Sepi. Hujan membuat gang itu sepi seketika.
Dibukanya gerbang yang masih basah itu. Brata, lelaki kurus berambut pirang tersenyum ramah padanya. "Mungkin ini terlalu pagi ya tuan?" lantas tertawa. Kemudian disodorkannya koran Tribun Jogja. Koran yang baru terbit sejak April lalu, tebalnya 24 halaman. Dahlan duduk di kursi anyam rotan alam, membaca koran sambil sesekali diseruputnya kopi panas.
"Buru-buru sekali, hendak kemana?" tanyanya ketika melihat Brata sibuk memarkir sepedanya keluar. "kemana lagi" jawabnya singkat diiringi tawa ringan. Hujan masih rintik, langit mendung. Tak ada matahari. Sepertinya awan masih ingin menyelimuti bola raksasa itu di langit Yogya. Padahal sudah pukul 06.30. Sepeda Brata melesat dari Godean ke gang Bromo. Sepi. Hujan membuat gang itu sepi seketika.
***
Selamat pagi April, semoga tetap menjadi bulan ke-4 ya!
Hari ini Senin, musim hujan di bumi pertiwi. Langit April mendung pagi itu. Tak ada matahari di kota Yogya. Dingin. Sisa hujan semalam mebuat kota itu mati seketika.
Mbok Yum sibuk mengelap meja makan dari sudut ke sudut, menyiapakan roti dan susu. Ibu sibuk mengolesi roti dengan selai dan ayah siap menyantapnya. Aku berlari menghampiri mereka, mengambil roti dan meneguk susu. Lantas berpamitan. Tanpa kusadari, ibu dan ayah bengong melihat kelakuanku. Apalah yang aneh dariku, aku tak peduli. Aku berlari lagi, masuk mobil.
"Berangkat pak! Ngebut ya!" Mang Parman mengangguk tanda mengerti. Aku sibuk merapikan seragam sambil menguyah roti lalu menelannya cepat-cepat. Mang Parman menyeringai aneh padaku melirik ke kaca di atas kepalanya.
TUHAN MAHA TAHU TAPI MENUNGGU
Posted on 02.04 by Unknown
| No comments
Sebuah cerpen karya Leo Tolstoy
Aksionov adalah seorang pria tampan berambut pirang keriting, penuh canda dan gemar menyanyi. Ketika masih sangat muda ia suka minum-minum dan bikin ribut kalau mabuk. Tapi setelah menikah ia pun berhenti minum, kecuali sesekali saja.
Pada suatu musim panas Aksionov akan berangkat ke Pasar Malam Nizhny, dan ketika berpamitan dengan keluarganya, istrinya berkata, “Ivan Dimitrich, jangan berangkat hari ini. Aku telah bermimpi buruk tentangmu.”
Aksionov tertawa dan menyahut, “Kau khawatir kalau sesampainya di sana nanti, aku akan berfoya-foya.”
Istrinya menjawab, “Aku tak tahu apa yang kukhawatirkan, yang kutahu hanyalah bahwa aku telah bermimpi buruk. Dalam mimpi itu kulihat setelah kau pulang dari kota dan membuka topi, seluruh rambutmu telah ubanan.”
Aksionov tertawa. “Itu pertanda baik,” ujarnya. “Lihat kalau sampai aku tidak menjual habis semua barang-barangku, dan membawakanmu oleh-oleh dari sana.”
Maka ia pun berpamitan kepada keluarganya dan berangkat dengan kereta kudanya.
Ketika baru setengah perjalanan ia berjumpa dengan seorang saudagar kenalannya, dan mereka pun menginap di losmen yang sama malam itu. Mereka menikmati teh bersama dan setelah itu menuju ke tempat tidur di ruang yang bersebelahan.
Bukanlah kebiasaan Aksionov untuk tidur sampai larut, dan karena ingin berangkat ketika hari masih dingin, ia membangunkan kusirnya sebelum fajar dan menyuruhnya menyiapkan kuda. Kemudian ia pergi ke tempat pemilik losmen yang tinggal di sebuah pondok di belakang, membayar sewanya dan melanjutkan perjalanan.
Setelah berjalan kira-kira sejauh dua puluh lima mil, ia menyuruh berhenti untuk memberi makan kuda. Aksionov beristirahat sejenak di gang losmen, lalu ia beranjak ke serambi depan dan sambil menyuruh untuk memanaskan samovar, ia pun mengeluarkan gitarnya dan mulai memainkannya.
Tiba-tiba sebuah troika mendekat dengan bunyi lonceng yang bergemerincing, seorang perwira turun diikuti oleh dua orang prajurit. Ia mendatangi Aksionov dan mulai menanyainya, tentang siapa dia dan kapan dia datang. Aksionov menjawab semua pertanyaannya, dan berkata,”Bersediakah Anda minum teh bersama saya?” Tapi sang perwira tetap meneruskan menanyainya.
“Di mana Anda menginap tadi malam? Apakah Anda sendirian ataukah bersama seorang saudagar yang lain? Apakah Anda berjumpa dengan seorang saudagar yang lain pagi ini? Kenapa Anda tinggalkan losmen itu sebelum fajar?”
Aksionov heran kenapa ia ditanyai dengan semua pertanyaan itu, namun ia pun menceritakan juga semua yang telah dialaminya, lalu menambahkan, “Kenapa Anda menanyai saya berulang-ulang begitu seakan-akan saya ini seorang pencuri atau perampok saja? Saya sedang dalam perjalanan bisnis, dan tidak perlu menginterogasi seperti itu.”
Kemudian sang perwira sambil memanggil para prajurit berkata, “Saya adalah perwira polisi di distrik ini, dan saya menanyai Anda karena saudagar yang menginap bersama Anda semalam telah ditemukan dalam keadaan tewas dengan leher tergorok. Kami harus memeriksa barang-barang Anda.”
Mereka pun memasuki rumah. Para prajurit dan perwira polisi tadi membuka kopor-kopor Aksionov dan menggeledahnya. Tiba-tiba sang perwira menarik sebilah pisau dari sebuah tas sambil berseru, “Pisau siapa ini?” Aksionov yang melihat sebilah pisau bernoda darah ditarik dari tasnya menjadi takut.
“Bagaimana ada darah di pisau ini?”
Aksionov berusaha menjawab namun dengan susah payah hanya mampu berucap dengan terbata-bata:
“Aku ti..dak ta..hu. Bu..kan mi..likku.”
Kemudian sang perwira polisi berkata, “Pagi ini saudagar itu ditemukan di atas ranjang dengan leher tergorok. Andalah satu-satunya orang yang dapat melakukannya. Rumah itu dikunci dari dalam dan tak ada orang lain di sana. Pisau bernoda darah ini berada di dalam tas Anda, lagi pula sudah jelas kelihatan dari wajah dan sikap Anda! Katakan bagaimana Anda membunuhnya, dan berapa banyak uang yang Anda curi?”
Aksionov bersumpah bahwa dirinya tidak melakukan hal itu. Dia tidak berjumpa lagi dengan saudagar itu sejak mereka usai minum teh bersama, dia tidak punya uang selain delapan ribu rubel miliknya sendiri, dan bahwa pisau itu bukan miliknya. Tapi suaranya pecah, wajahnya pucat, dan dia pun gemetar ketakutan seakan-akan memang bersalah.
Sang perwira polisi memerintahkan anak buahnya untuk mengikat Aksionov dan memasukkannya ke dalam kereta. Ketika mereka mengikat kedua kakinya jadi satu dan menghempaskannya ke dalam kereta, Aksionov berdoa dengan membuat isyarat tanda salib dengan tangannya dan menangis. Uang dan barang-barangnya disita, ia dikirim ke kota terdekat dan ditahan di sana. Penyelidikan tentang dirinya dilakukan di Vladimir. Para saudagar dan penduduk lain di kota itu mengatakan bahwa dulunya ia memang suka minum-minum dan membuang-buang waktu percuma, namun dia adalah orang baik. Kemudian sidang pengadilan pun digelar: ia dituduh telah membunuh seorang saudagar dari Ryazan dan merampoknya sebanyak dua puluh ribu rubel.
Istrinya putus asa dan tidak tahu apa berita ini yang harus dipercaya. Anak-anaknya masih kecil, yang seorang malah masih menyusu. Sambil membawa mereka semua, ia berangkat ke kota di mana suaminya ditahan. Mulanya ia tidak diijinkan menjumpai suaminya, namun setelah memohon dengan amat sangat, iapun mendapatkan ijin dari para pejabat dan diantar menemui suaminya. Ketika melihat suaminya memakai seragam tahanan dan dirantai, dikurung bersama para pencuri dan penjahat —wanitu itu pun jatuh pingsan dan tidak sadar-sadar sampai beberapa lama. Setelah siuman ia menarik anak-anaknya ke dirinya dan duduk di samping suaminya. Diceritakannya tentang keadaan di rumah, dan menanyakan apa yang menimpa suaminya. Pria itu pun menceritakan semuanya.
Lalu sang istri bertanya, “Apa yang dapat kita perbuat sekarang?”
“Kita harus mengajukan permohonan kepada Tsar agar tidak membiarkan orang yang tidak bersalah binasa.”
Istrinya mengatakan bahwa ia telah mengajukan permohonan itu kepada Tsar, tapi tidak dikabulkan. Aksionov tidak menjawab namun hanya tampak putus asa.
Kemudian istrinya berkata, “Ternyata bukan tak ada artinya aku dulu bermimpi rambutmu ubanan. Masih ingatkah? Seharusnya kau tidak berangkat pada hari itu”. Dan sambil membelai rambut suaminya iapun berkata, “Vanya, sayang, katakanlah yang sejujurnya kepada istrimu ini. Apakah memang bukan kau yang melakukannya?”
“Jadi kaupun mencurigaiku!” sahut Aksionov, dan sambil membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan, ia pun menangis. Lalu datanglah seorang prajurit yang mengatakan bahwa sang istri dan anak-anaknya harus pergi. Aksionov pun mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya untuk yang terakhir kali.
Ketika mereka telah pergi, Aksionov mengingat-ingat percakapan tadi, dan ketika terkenang bahwa istrinya pun ikut mencurigainya, ia berkata pada dirinya, “Tampaknya hanya Tuhan saja yang tahu kebenaran ini, hanya kepada-Nya kita berdoa dan minta ampun.”
Dan Aksionov pun tidak lagi mengajukan petisi dan berharap banyak, ia hanya berdoa kepada Tuhan.
Aksionov dijatuhi hukuman cambuk dan dikirim ke pertambangan. Ia pun dicambuk dengan cemeti, dan setelah luka-luka cambukan itu sembuh, ia dibawa ke Siberia bersama para pekerja paksa lainnya.
Selama dua puluh enam tahun Aksionov hidup sebagai seorang pekerja paksa di Siberia. Rambutnya berubah menjadi seputih salju, janggutnya pun tumbuh panjang, tipis, berwarna abu-abu. Semua keceriaannya punah, ia selalu menunduk, berjalan perlahan, sedikit bicara, dan tak pernah tertawa, namun sering berdoa.
Di dalam penjara Aksionov belajar membuat sepatu boot, dan memperoleh sedikit uang yang dibelikannya buku Kehidupan Orang-Orang Saleh. Ia membaca buku itu ketika terdapat cukup cahaya di dalam penjara. Dan setiap hari Ahad di dalam gereja penjara ia membaca pelajaran-pelajaran serta ikut menyanyi dalam paduan suara karena suaranya masih bagus.
Para pejabat penjara menyukai Aksionov karena kepatuhannya, dan teman-teman sesama napi pun menghormatinya. Mereka menjulukinya dengan sebutan “Kakek” dan “Orang Saleh”. Kalau mereka ingin mengajukan permohonan kepada para pejabat penjara tentang hal apa saja, mereka selalu mengangkat Aksionov sebagai juru bicaranya. Dan manakala terjadi keributan di antara sesama napi, mereka datang kepadanya untuk memutuskan perkara yang benar.
Tak ada berita yang sampai kepada Aksionov dari rumahnya, bahkan ia pun tak tahu apakah istri dan anak-anaknya masih hidup.
Suatu hari sekelompok tahanan kerja paksa baru didatangkan ke penjara. Sorenya, para napi lama mengerumuni rekan-rekannya yang baru itu dan menanyai mereka: dari kota atau desa mana saja mereka berasal dan dihukum karena perbuatan apa. Di tengah-tengah istirahat, Aksionov duduk di dekat para pendatang baru itu dan ikut mendengarkan dengan roman muka putus asa atas apa yang diucapkan.
Salah seorang di antara pekerja paksa baru itu adalah seorang pria berumur enam puluh tahunan berperawakan tinggi kekar dan berjenggot lebat terpangkas rapi, ia sedang bercerita kepada yang lainnya kenapa dirinya ditahan.
“Baiklah, teman-teman,” ujarnya, “aku hanya mengambil seekor kuda yang sedang diikat di pengeretan. Lalu aku ditahan dan dituduh atas pencurian. Telah kukatakan bahwa aku mengambilnya supaya bisa cepat pulang ke rumah, kemudian melepasnya pergi. Lagi pula, pengendaranya adalah temanku sendiri. Dengan demikian aku bilang, ‘Itu tidak apa-apa’. Tapi mereka mengatakan, ‘Tidak. Kau telah mencurinya’. Tapi bagaimana dan kapan aku mencurinya mereka tak dapat menunjukkannya. Dulu, pernah sekali aku memang sungguh-sungguh berbuat salah, dan seharusnya berdasar hukum sudah berada di sini sejak lama, tapi ketika itu aku tidak tertangkap. Kini aku dikirim kemari tanpa alasan sama sekali…. Eh, tapi itu cuma bohong yang kuceritakan kepada kalian. Aku pernah ke Siberia sebelumnya namun tidak tinggal lama.”
“Dari mana asalmu?” tanya seseorang.
“Dari Vladimir. Keluargaku berasal dari kota itu. Namaku Makar, dan mereka juga memanggilku Semyonich.”
Aksionov mengangkat kepalanya dan berkata, “Katakan padaku, Semyonich, apakah kau tahu sesuatu tentang keluarga saudagar Aksionov dari Vladimir? Apakah mereka masih hidup?”
“Tahu tentang mereka? Tentu saja. Keluarga Aksionov kaya, meskipun ayah mereka berada di Siberia, tampaknya seorang pendosa juga seperti kita! Lalu bagaimana dengan Anda sendiri, Kek? Bagaimana Anda bisa sampai di tempat ini?”
Aksionov tidak ingin menceritakan kemalangannya. Ia hanya mendesah dan berkata, “Karena dosa-dosaku maka aku berada di dalam penjara selama dua puluh enam tahun ini.”
“Dosa-dosa apa?” tanya Makar Semyonich.
Namun Aksionov hanya berkata, “Yah… aku memang layak mendapatkannya!”
Ia tak ingin berkata lebih banyak, namun teman-temannya memberitahukan kepada para pendatang baru itu bagaimana Aksionov bisa sampai ke Siberia. Bagaimana seseorang telah membunuh seorang saudagar, lalu menyelipkan pisaunya ke dalam barang-barang Aksionov, dan Aksionov pun secara tidak adil telah dijatuhi hukuman.
Ketika Makar Semyonich mendengar semua ini, ia memandangi Aksionov, dan berseru sambil menepuk-nepuk lututnya sendiri, “Wow, sungguh luar biasa! Sangat luar biasa! Tapi betapa cepatnya kau menjadi tua, Kek!”
Yang lainnya pun menanyainya kenapa ia begitu terkejut, dan di manakah ia pernah melihat Aksionov sebelumnya, namun Makar Semyonich tidak memberikan jawaban. Ia hanya berkata, “Ini luar biasa bahwa kita akan bertemu di sini, hai budak-budak!”
Kata-kata ini membuat Aksionov bertanya-tanya apakah pria ini tahu siapa sesungguhnya yang dulu membunuh sang saudagar, maka ia pun berkata, “Semyonich, barangkali kau pernah mendengar kejadian itu, atau mungkin kau pernah melihatku sebelum ini?”
“Apakah aku pernah mendengarnya? Dunia ini penuh dengan desas-desus. Tapi peristiwa itu sudah lama sekali dulu, dan aku telah lupa apa yang kudengar.”
“Barangkali kau pernah mendengar siapa yang membunuh saudagar itu?” tanya Aksionov.
Makar Semyonich tertawa dan menjawab, “Dia itu pastilah orang yang di dalam tasnya ditemukan pisau tersebut! Kalaulah ada orang lain yang meletakkannya di sana, maka ada ungkapan: ‘Dia bukan pencuri sampai tertangkap’, bagaimana ada orang yang bisa meletakkan sebilah pisau di dalam tasmu yang berada di bawah kepalamu? Pastilah akan membuatmu terbangun.”
Ketika Aksionov mendengar kata-kata ini, ia merasa yakin bahwa orang inilah yang telah membunuh saudagar itu. Ia pun bangkit dan pergi. Sepanjang malam itu Aksionov terbaring dalam keadaan jaga. Dia merasa sangat sedih, dan berbagai bayangan muncul di benaknya. Ada bayangan istrinya saat ia meninggalkannya untuk pergi ke pasar malam. Dia melihat wanita itu seakan-akan hadir: wajah dan matanya muncul di hadapannya, ia mendengar bicara dan tawanya. Lalu ia melihat anak-anaknya, masih kecil-kecil ketika itu, yang seorang mengenakan mantel mungil sedangkan yang satunya lagi masih menyusu di dada ibunya.
Lalu ia pun mengenang dirinya sendiri kala itu: muda dan ceria. Ia ingat ketika duduk bermain gitar di beranda losmen itu, di mana dirinya ditangkap. Betapa dulu ia tak pernah merasa susah.
Di benaknya ia melihat tempat di mana dirinya dicambuk, sang algojo, orang-orang yang berdiri di sekelilingnya, rantai-rantai itu, para pekerja paksa, semua dua puluh enam tahun kehidupannya di penjara, dan usia tuanya yang prematur. Mengenang semua itu membuatnya sangat sedih hingga ingin rasanya bunuh diri.
“Dan semua ini karena perbuatan bajingan itu!” batinnya. Dan kemarahannya sangat besar kepada Makar Semyonich sehingga ia ingin sekali melakukan balas dendam, walaupun dirinya sendiri harus hancur karenanya. Ia terus mengulang-ulang doa sepanjang malam itu, namum tetap tidak bisa merasa tentram. Selama siang harinya ia tidak mau berada di dekat Makar Semyonich, atau pun melihat ke arahnya.
Dua pekan berlalu seperti itu. Aksionov tak dapat tidur tiap malamnya, dan begitu menderita sehingga tak tahu apa yang harus dikerjakan.
Suatu malam ketika sedang berjalan-jalan di sekitar penjara ia melihat seonggok tanah terlempar keluar dari bawah salah satu dipan bersusun tempat tidur para napi. Ia pun berhenti untuk mengamati apakah itu gerangan. Tiba-tiba Makar Semyonich merangkak keluar dari bawah dipan tadi dan memandang ke atas kepada Aksionov dengan ketakutan. Aksionov berusaha berlalu tanpa memandang ke arahnya, tapi Makar Semyonich mencengkeram lengannya dan mengatakan kepadanya bahwa ia telah menggali sebuah lubang di bawah dinding, membuang tanahnya dengan cara memasukkannya ke dalam sepatu bootnya yang tinggi, lalu membuangnya setiap hari ke jalan ketika para napi sedang digiring untuk bekerja.
“Pokoknya kau diam saja, Pak Tua. Dan kau pun akan ikut keluar juga. Kalau kau sampai berkicau maka mereka akan mencambukku sampai mati, tapi sebelum itu aku akan membunuhmu lebih dulu.”
Aksionov bergetar marah ketika memandang musuhnya. Ia merenggutkan tangannya seraya berkata, “Aku tak ingin meloloskan diri. Dan kau pun tak perlu membunuhku, kau telah membunuhku sejak lama! Tentang melaporkan perbuatanmu ini, aku boleh melakukannya atau tidak, Tuhanlah yang memberi petunjuk.”
Pada hari berikutnya ketika para napi digiring ke pekerjaan mereka, patroli tentara melihat salah seorang napi sedang membuang tanah dari sepatu bootnya. Penjara tersebut digeledah dan terowongan itu pun ditemukan. Sang gubernur datang dan menanyai semua napi untuk mencari tahu siapa yang telah menggali lubang itu. Mereka semua menyangkal mengetahui hal tersebut. Orang-orang yang tahu pun tidak mau mengkhianati Makar Semyonich, karena tahu bahwa ia akan dicambuk sampai hampir mati.
Akhirnya sang gubernur berpaling kepada Aksionov yang diketahuinya sebagai seorang yang jujur, dan berkata, “Kau adalah seorang tua yang bisa dipercaya, katakan padaku, di depan Tuhan, siapa yang telah menggali lubang itu?”
Makar Semyonich berdiri dengan lagak seakan-akan tidak begitu peduli, dia memandang kepada sang gubernur dan hanya melihat sekilas ke arah Aksionov. Bibir dan tangan Aksionov bergetar, dan untuk beberapa lama ia tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Ia membatin, “Mengapa aku harus melindungi orang yang telah menghancurkan hidupku? Biar dia membayar apa yang telah kuderita ini. Tapi bila aku bicara, mereka mungkin akan mencambuknya sampai mati, dan barangkali kecurigaanku ini bisa saja salah. Lagipula, apa untungnya bagiku?”
“Baiklah, Pak Tua,” ulang sang gubernur, “katakan padaku yang sejujurnya: siapa yang telah menggali di bawah tembok itu?”
Aksionov melihat sekilas ke arah Makar Semyonich, dan berkata, “Aku tak dapat mengatakannya, Tuan. Bukanlah kehendak Tuhan agar aku mengatakannya! Lakukan saja apa yang Anda inginkan atas diriku ini, aku berada di tangan Anda.”
Bagaimanapun sang gubernur telah berusaha, Aksionov tidak mau berkata lebih banyak lagi, dan perkara itupun akhirnya dianggap selesai.
Malamnya ketika Aksionov berbaring di dipannya dan mulai terlelap, seseorang mendatanginya secara diam-diam dan duduk di atas dipannya. Ia pun memandang dengan tajam menembus kegelapan dan mengenali Makar Semyonich.
“Apa lagi yang kamu inginkan dariku?” tanya Aksionov. “Kenapa kamu datang ke sini?”
Makar Semyonich diam.
Maka Aksionov pun duduk dan berkata, “Apa maumu? Pergilah, atau akan aku panggilkan penjaga!” Makar Semyonich membungkuk ke dekat Aksionov lalu berbisik, “Ivan Dimitrich, maafkan aku….”
“Untuk apa?” tanya Aksionov.
“Akulah sebenarnya yang dulu membunuh saudagar itu dan menyembunyikan pisaunya di dalam barang-barangmu. Aku sebetulnya bermaksud membunuhmu juga, namun kudengar ada ribut-ribut di luar, maka kusembunyikan pisau itu ke dalam tasmu dan melarikan diri lewat jendela.”
Aksionov terdiam, dan tak tahu apa yang harus dikatakannya. Makar Semyonich beringsut dari dipan itu dan berlutut di atas tanah.
“Ivan Dimitrich,” katanya memohon, “maafkanlah aku. Demi kasih Tuhan, maafkanlah aku. Aku akan mengaku bahwa akulah yang telah membunuh saudagar itu, dan kaupun akan dibebaskan dan bisa pulang ke rumahmu.”
“Mudah saja bagimu bicara begitu,” ujar Aksionov, “tapi aku telah menderita karena ulahmu selama dua puluh enam tahun ini. Ke mana lagi aku hendak pergi sekarang? Istriku sudah meninggal, dan anak-anakku pun sudah tak ingat lagi kepadaku. Aku tak bisa pergi ke mana-mana lagi…”
Makar Semyonich tidak bangkit, tapi justru membentur-benturkan kepalanya ke lantai. “Ivan Dimitrich, maafkan aku!” tangisnya. “Ketika mereka mencambukku dengan cemeti dulu, tidaklah seberapa berat menanggungnya dibandingkan melihatmu seperti saat ini. Bahkan kaupun telah mengasihaniku, dengan tidak mengatakannya kepada mereka siang tadi. Demi Kristus, ampuni aku, aku memang brengsek!” Dan ia pun terisak-isak. Ketika Aksionov mendengarnya menangis terisak-isak begitu, ia pun ikut menangis. “Tuhan akan mengampunimu,” katanya. “Mungkin aku seratus kali lebih buruk daripadamu.”
Dan dengan kata-kata ini hatinyapun terasa ringan dan terang, kerinduan kepada rumah pun hilang. Ia tak ada keinginan lagi meninggalkan penjara itu, namun hanya mengharap agar saat-saat terakhirnya segera tiba.
Terlepas dari apa yang telah dikatakan Aksionov, Makar Semyonich tetap mengakui kesalahannya. Tapi ketika perintah pembebasan atas dirinya dikeluarkan, Aksionov baru saja wafat.
Langganan:
Postingan (Atom)