Selasa, 29 April 2014


Hingga Batu Bicara

HINGGA BATU BICARA
Oleh Helvy Tiana Rosa

Dan seperti hari-hari kemarin, aku pun berlalu begitu saja dari hadapan gadis itu sambil membetulkan letak senapan laras panjang yang kusandang. Namun sampai di pos penjagaan, beberapa meter dari tempat perempuan itu berada, mataku masih lekat padanya.
 Aku tak tahu siapa perempuan itu. Diakah? Sejak pindah tugas bulan lalu dari Tel Aviv ke tanah kelahiranku, Yerusalem, tepatnya di sekitar Al-Aqsha dan Dinding Ratapan ini, hampir setiap hari aku, juga tentara yang lain melihatnya.
"Suatu hari aku akan bersenang-senang dengannya!"ujar David, teman bertugasku di sini yang senantiasa memproklamirkan dirinya sebagai Lohamei Herut Israel sejati. Ia menyeringai, menampakkan gigi-giginya yang kecoklatan. "Lihat saja nanti!" serunya.
 "Ya, setelah itu kita akan menghabisi perempuan gila itu!"sambung Goldstein, temanku yang lain dengan nada dingin, sambil melipat koran Yediot Aharonot, yang sejak tadi dibacanya.
 Perempuan itu memang masih muda. Mungkin usianya sekitar dua puluh sampai dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik, seperti kebanyakan gadis Palestina, hanya sedikit lebih runcing. Matanya kelabu, bulat dan bening. Kedua alisnya yang hitam dan tebal hampir menyatu di atas hidung yang mencuat. Ia tinggi namun sang at kurus dan tampak semakin tenggelam dalam abaya dan kerudung hitamnya yang besar, longgar dan lusuh. Dari jauh sosoknya mengingatkanku pada tiang-tiang abu-abu dan hitam yang sering kami pancangkan di perbatasan daerah pemukiman.
"Apa yang dibicarakannya dengan," David tak sanggup menahan tawa," Batu-batu itu?".
 Aku mengangkat bahu. Membuka helm 'perang' dengan kaca plastik yang kerap menutupi wajahku. Kini aku dapat memandang gadis itu lebih jelas. Wajah pasinya tak wajar. Kulihat ia komat kamit, berbicara pada batu-batu itu. Tangannya cekatan menyusun bebatuan tersebut dalam satu barisan panjang. Lalu ia memberi aba-aba, layaknya seorang komandan mempersiapkan para prajuritnya. Perempuan itu menghentak-hentakkan kaki ke bumi, berjalan di tempat, berulangkali. Wajahnya lurus ke depan, tepat ke arah kami. Namun pandangannya kosong. Beberapa saat kemudian ia sudah duduk begitu saja di tanah. Menyusun batu-batu lain, menumpukkannya ke atas dan tersenyum-senyum sendiri. Pernah pula aku melihatnya sedang melakukan gerakan-gerakan sembahyang. Sementara batu-batu besar dan kecil berjajar rapi di belakangnya.
Gila, batinku. Dan sama gilanya bila aku masih memperhatikannya.
 "Selama ia cuma bicara pada batu, biarkan saja. Kita juga butuh hiburan kan?" Goldstein mendengus, kemudian meludah.
"Kau tak akan percaya, tetapi batu-batu ini memang bicara padaku!" Gadis itu berusaha meyakinkanku. "Kau mau tahu apa katanya?".
 Aku mengangguk bodoh.
Mata gadis itu berubah liar. Bibirnya melengkung ke bawah. Penuh keyakinan ia berkata, "Mereka, batu-batu itu akan membinasakan kalian, sebagaimana kalian membinasakan bangsa kami!" Ia tertawa-tawa, sambil mengusap batu-batu itu. Makin lama makin keras. Mengikik, menukik-nukik. Menyeramkan. Lalu tiba-tiba dingin. Angin! Tawa itu menjelma angin puyuh yang berputar, terus berputar menggulungku, lalu menghempaskanku ke sebuah tepian.
Tiba-tiba saja aku telah berada di tempat lain. Sekelilingku gelap. Aku berada dalam lorong panjang yang pekat. Bulu kudukku berdiri. Aku merasakan tangan dan kakiku dingin, namun hawa panas juga menyergapku. Keringat menetes, membasahi baju seragamku.
Hati-hati sekali aku berjalan. Aku tersesat dalam labirin sunyi tanpa nama. Aku meraba-raba mencari cahaya. Tertatih-tatih. Rasanya aku telah berjalan beratus-ratus jam, sampai kulihat setitik sinar.
Detak jantungku makin keras. Setengah memicingkan mata, perlahan aku menghampiri sumber cahaya tersebut. Tiba-tiba kudengar suara-suara isakan. Erangan-erangan yang memenuhi segenap ruangan. Lalu tangisan, jerit kesakitan dan teriakan histeris yang tak putus-putus.
Danaku nyaris terpekik. Aku biasa melihat mayat, namun tak sebanyak ini! Di hadapanku kini kulihat ratusan mayat bergelimpangan. Semakin lama semakin banyak. Menjadi ribuan dan terus bertambah lagi. Mayat-mayat itu berjejalan, seperti ikan-ikan sardin dalam kaleng. Darah terus menetes-netes dari tubuh-tubuh itu. Anyir. Mengental, menganak sungai. Beberapa kali aku terpeleset, dan jatuh di atas mayat-mayat itu.
"Negeri kami! Di mana negeri kami?"
 "Tanah, kembalikan tanah kami!"
 Suara-suara itu menggema, bergelombang, berulang-ulang. Meninggalkan pedih. Seperti pisau yang mengerat-ngerat sanubari. Badanku gemetar, menggigil. Kepalaku pening. Rasanya aku akan pingsan, saat sayup-sayup kudengar suara ayah, "Ingat Jhosua I,3: Setiap tempat yang akan kami injakkan dengan telapak kakimu, sudah Aku berikan padamu."
 Suara ayah, para rabbi dan erangan-erangan tadi seperti berebutan menarik-narik kedua kupingku. Aku merasa kupingku meleleh. Pandanganku kabur.
 Samar, kulihat gadis itu. Wajahnya beku. Ia tak bicara. Hanya buliran bening di matanya jatuh menetes membasahi tanah dan batu-batu di sekitar yang telah meresap darah.
 Aku mengucek kedua mataku. Apa aku tak salah lihat?
 Batu-batu itu! Batu-batu itu bergerak, perlahan membumbung ke atas. Aku terperanjat! Batu-batu itu beterbangan! Mereka menuju ke arahku! Mereka berlomba-lomba mengejarku. Aku berlari di atas mayat dan tulang-tulang berserakan. Tenagaku tinggal sisa-sisa. Kakiku perlahan membeku. Semakin kaku. Aku terjatuh. Terjerembab di atas mayat para kanak-kanak yang membusuk. Dan sebuah batu yang paling besar sekonyong-konyong akan menimpa kepalaku. Aku terbelalak. Tak percaya, kulihat kedua mata yang tiba-tiba tampak pada batu itu. Mata! Batu itu punya mata! Juga mulut! Ia bahkan bersuara! Ia terus memanggil-manggil namaku.
"Aaaaaaaaaaaa!"
 Aku berteriak sekeras-kerasnya! Aku terbangun! Sekujur tubuhku peluh. Penuh ngilu.
Belum pukul dua dini hari. Gadis itu. Gadis yang berbicara dengan batu-batu. Mengapa aku memimpikannya? Aku mengusap peluh di dahi. Mimpi-mimpi seram telah memilihku menjadi tempat persemayaman sejak aku berada di tanah ini dan semakin menjadi-jadi sejak aku mulai bertugas lima tahun lalu. Sungguh, kami telah begitu karib. Tak pernah ada hal buruk yang terjadi padaku sesudah mimpi-mimpi seram itu datang. Jadi, secara logika, aku harus meneruskan tidurku. Meneruskan hidupku.
 Namun gadis itudan batu-batu yang berterbangan, kini berpindah dari dalam mimpi ke langit-langit kamarku. Membentuk bayang-bayang aneh bersama lambaian pepohonan yang dibawa cahya rembulan masuk, melalui celah jendela.
 Aku terjaga. Aku terus berjaga!
 "Kami tak dapat menjagamu lagi, Hanan."
 Aku melihat seorang lelaki bersimbah darah, merangkak tertatih mendekati mayat seorang perempuan sebayanya. Di sisi mayat perempuan tersebut, seorang gadis kecil seusiaku menangis sesenggukan. Ia membuang boneka kain yang sejak tadi bersamanya dan memeluk jasad ibunya yang kaku dengan segenap jiwa. Lalu ia menatap ayahnya, meratap parau.
 "Jangan menangis, Hanan? Janganmenangis, kau masih ingat cerita ayah tentang batu-batuitu?" Lelaki itu berusaha tersenyum sambil terus merayap. Perlahan ia menjatuhkan badannya di samping mayat istrinya. Sebelah tangannya menggenggam tangan sang istri. Sebelah lagi, yang luka dan berlumuran darah membelai wajah gadis kecil bernama Hanan itu.
"Rasulullah sudah mengatakannya, bannatii, kiamat tak akan datang sampai tiba pertempuran kita dengan mereka. Hinggaseluruh batu berbicara dan memberitahu kita: ya hamba Allah, ini Yahudi di belakangku!* Mereka tak akanbisa sembunyi, nak. Batu-batu dan semua tentara Allah di alam ini akan membantu kaum Muslimin. Rasulullah telah bersaksi."
 "Abi!!"
"Jaga dirimu baik-baik."
 Dari balik pintu kayu yang rapuh, aku melihat lelaki itu tak bergerak lagi. Dan Gadis delapan tahunan itu menjatuhkan kepalanya di dada ayahnya.
Aku terperanjat. Lututku gemeretak. Sekilas kulihat gadis itu memandang ke arah pintu dan menemukan wajahku di sana. Matanya sembab. Kedua pipinya yang merah jambu, kini benar-benar merona darah ayahnya.
"Anak nakal!" Suara ayah menggelegar. Ia menjewer dan nyaris menendangku dengan sepatu larsnya.
"Tapi ayah,"aku mengusap keringat dingin di dahiku. Sementara gadis kecil itu menatap kami dengan pandangan penuh tanya yang menusuk.
"Setelah dibersihkan, besok rumah ini bisa kita tempati. Ayo, beritahu ibumu!"seru ayah tak peduli.
Aku menatap gadis itu lagi dan menemukan diriku yang masih gemetar, tenggelam dalam bulat matanya. Dan wajah runcing kanak-kanaknya memperlihatkan garis-garis tegar, tarikan-tarikan keras. Aku merasa nyeri dan teriris-iris. Betapa pedih ditinggal ayah dan ibu. Bahkan bila kau tak menyukai mereka!
Ya, aku menyaksikan sendiri! Ayahku telah membunuh ayah gadis itu! Teman-teman ayahku menelanjangi sebelum membongkar tubuh ibunya, hingga darah bercipratan di mana-mana dan tentara yang lain, dengan ekspresi batu, mengobrak abrik tempat ini.
 "Mengapa kita harus tinggal di sini, ayah?" tanyaku ketika berlalu. Ah, aku selalu gagap bila berbicara dengan ayah"Sebab ini tanah yang dijanjikan untuk kita dan besokrumah ini menjadi milik kita, " Ayah mengusap kumisnya yang lebat. "Yatom, apa pun yang terjadi kau harus jadi seperti aku dan membela tanah ini. Sekarang coba sebutkan Satanim atau harar!" perintahnya.
"Aaatakkim,shada, parokim, libarim, babill, onan,, protokolat,aagorgah, plotisme, qornun."
Ayah terbahak-bahak. Menyentak-nyentak. "Hilangkan gagapmu!" serunya kemudian, masih menggelegar. "Aku tak suka mendengarnya!"
Aku menunduk.Mengangguk-angguk.
Setiap kali bicara, ayah selalu menjelma raksasa yang menelanku bulat-bulat. Ketika aku menjadi tentara lima tahun lalu, ia masih seorang raksasa. Hingga kini. Bagiku, tak seorang pun mampu menghadapinya!
Keluargaku mulai menempati rumah itu dua hari kemudian. Kami membuat rumah tersebut tampak lebih bagus dan nyaman. Pintu kayu yang rapuh itu telah berganti dengan pintu baru yang kokoh. Ibu menghias semua ruangan, di antaranya dengan perabotan yang diplitur mengkilap. Tetapi tetap saja aku sering bergidik membayangkan bahwa pernah ada mayat yang terkapar di sana.
Sementara itu si gadis kecil entah ke mana. Aku menemukan boneka kainnya dalam keadaan kotor dan lapuk, di samping rumah. Beberapa kali, kala senja, aku memergokinya tengah memandangi tempat tinggal kami dari jauh. Ia tampak kurus, kumuh dan tak terurus. Bajunya compang camping, wajahnya penuh debu. Samar, kulihat sebongkah batu dalam genggaman tangannya yang mungil.
Gadisku Yang Kampungan.
Kopi panas terhidang cepat di hadapanku. Uapnya mengepul menghantam hidungku. Panas, tapi harum. Kusambar sepotong bakwan dari piring tak jauh dariku. Pancaran petromaks semakin samar. Tidak biasanya warung  kopi ini begini sepi. Hanya ada aku dan seorang laki-laki berwajah lelah yang masih tekun menyantap indomie rebusnya.
Alunan suara Iis Dahlia terdengar lamat-lamat dari radio tua sang empunya warung kopi. Lirik-lirik sendu menghujat cinta itu kudengar dengan sabar. Begitu pahitkah cinta? Kuseruput kopi panas itu perlahan. Aromanya menusuk hidung. Masih panas.
Angin menghembus pelan. Dingin. Kurapatkan kemeja flanel tebalku. Beberapa malam ini memang dingin sekali. Hujan datang tak pernah permisi. Kunyalakan rokok untuk mengusir dingin. Angin masih saja berhembus pelan tapi dingin. Bapak tua sang empunya warung memompa petromaks yang sinarnya semakin temaram. Sebentar kemudian petromaks itu langsung menyala terang sekali. Aku memicingkan mata tidak siap menerima sinar petromaks. Tapi toh lampu petromaks itu cukup membuat warung kopi ini agak hangat.
Kulihatjamdidindingwarkop .Setengah sebelas. Sudah setengah jam aku disini. Dia belum datang juga. Tanpa sadar aku sudah menghabiskan tiga batang rokok. Kemana dia? Kucoba buang waktu mendengarkan lirik-lirik kepasrahan luar biasa dari radio tua itu. Cinta masih sangat pahit.
Kudengar suara tawa dari kejauhan. Makin lama makin dekat. Ramai sekali. Tak lama muncullah dia dari gelap jalan setapak di dekat warkop itu, bersama tiga orang yang lain.
Senyumku mengembang. Dia langsung menghampiriku dan memelukku dari belakang. Manja. "Udah lama ya, Bang?" tanyanya dengan suara manja yang sangat dibuat-buat, tapi aku suka. Aku hanya mengangguk sambil mengecup lengannya yang melingkar di pundakku. "Maaf ya, Bang. Habis si Umar pakai acara ke rumah ceweknya dulu sebentar," ujarnya langsung memberikan argumentasi. Aku hanya bisa tersenyum lagi. Tak masalah untuk aku sebenarnya. Tiga orang yang lainnya menyapaku ramah dan langsung mengambil tempat berjajar denganku lalu memesan kopi dan teh hangat.
Dia duduk di sampingku. Tangannya tidak pernah lepas dari pundakku. Sejenak kemudian warkop ini langsung ramai oleh tawa empat orang itu. Entah apa saja yang diobrolkan. Yang jelas seru sekali. Dan sekarang aku tidak kedinginan lagi. Dia merapatkan duduknya ke badanku. Dipeluknya aku erat-erat, hangat. Suara radio mendadak makin keras. Dia menggoyangkan tubuhnyamengikuti alunan lagu. Kali ini tak ada lirik menghujat cinta. Ternyata cinta tidak selalu pahit.
Kutatap wajah di sebelahku ini. Kelihatan sekali bedaknya yang tebal, gincu merah menyala yang aku yakin dipulas berkali-kali, eye shadow mengkilat di matanya, alis yang dilukis ulang serupa rembulan. Harum badannya menyengat hidungku, mengalahkan aroma kopi panas di sekitar warkop. Sesekali ia juga menatapku malu-malu, lalu tertawa genit sambil mencubit pinggangku. "Ngapain sih lihat-lihat? Naksir ya?" tanyanya manja. Aku mengangguk cepat kalau ia bertanya seperti itu. Kemudian tawanya berderai dari bibir merahnya. Ramai. Ribuan cubitan lainnya langsung mendarat di badanku. Aku terbang.
Kupeluk dia erat-erat selama perjalanan pulang. Tiga temannya tadi memisahkan diri. Jalan gelap itu membuatku semakin mempererat pelukan. Aroma tubuhnya menempel di badanku. Tapi tak apa, aku belom mandi sore tadi. Sampai di pertigaan jalan yang sepi, ia mengajak berhenti. Dia bilang capek. Aku tak percaya sebenarnya, toh kami belum berjalan jauh. Tapi aku turuti saja, tidak ada ruginya. Hari juga belum berganti.
Ia mengajakku duduk di bawah pohon tak jauh dari pinggir jalan. Dia langsung memelukku erat sesampainya disana. Aku tidak berpura-pura bodoh. Kuciumi wajahnya, lalu bibirnya. Gincunya belepotan di bibirku. Dia membantuku menghapus gincu merah di bibirku dengan tissue yang dibawanya. Lalu kami berciuman lagi. Tanganku tak pernah berhenti meraba tubuhnya, mengusap rambutnya. Sesekali kuremas buah dadanya yang montok itu. Ia hanya bisa merintih pelan. Betapa aku senang mendengar rintihannya. Angin membawanya berlari. Alunan lirik-lirik yang menghujat cinta masih terngiang di telingaku. Cinta memang tidak selalu pahit.
Bulan berdarah masih menggantung di sana. Kupejamkan mataku dengan paksa. Tapi kelebat di bawah pohon itu masih terus melintas di otakku. Hari ini memang menyebalkan. Tadi siang aku bertemu lagi dengannya. Dia menungguku di depan gerbang kampus. Riasan tebal di wajahnya tidak bisa menyembunyikan luka. Masih terbayang lebam biru di dekat sudut matanya. Dia hanya menangis ketika aku tanya mengapa. Aku tidak menghiraukan tatapan aneh teman-temanku yang melihat aku memeluknya. Dia menangis di dadaku.
"Bapak tahu tentang kita, Bang." Kata-katanya tersendat-sendat dibalik tangisannya. Aku hanya bisa membisu. "Kata Bapak, aku nggak boleh lagi beraniketemu Abang." Dia menangis terus di pelukanku. "Kata Bapak, aku nggak pantas buat Abang." Aku bisa rasakan gemuruh di dadaku. Entah apa. Dan gemuruh itu makin menjadi ketika sepasang mata mengawasi dari kejauhan. Aku mengenali mata itu. Mata seorang gadis di masa lalu. Aku tak bisa menahan gemuruh itu. Aku ajak dia pulang.
"Teganya kamu, Yo. Aku nggak pernah menyangka kamu bisa begini. Kurang apa sih aku, Yo? Apa sih yang dia lakukan terhadap kamu sampai kamu bisa seperti ini? Apa, Yo? Kamu dipelet ya?"Dan sebuah tamparan selanjutnya mendarat di mukaku ketika aku jawab kalau aku mencintainya.
"Nemu di mana tuh, Yo?" sebuah pertanyaan hinggap padaku suatu hari dari seorang teman. Aku hanya menjawab dengan senyum. Dan aku hanya bisa menerima tampang-tampang heran mereka.
"Hmm...gimana ya, Yo. Gue nggak tega ngomongnya, tapi ini harus gue bilang juga sama elu. Cewek baru lu kampungan banget sih, Yo? Sorry banget deh kalau gue ngomong begini. Gue cuman mau jujur aja sama lu. Kan lu minta pendapat gue.
Bulan berdarah mulai meleleh. Mataku masih saja tidak bisa terpejam. Semuanya berkelebat cepat. Gemuruh masih ada di dadaku. Tangisan gadisku masih jelas di kepalaku. Gadisku memang kampungan. Dandanannya yang tebal sebenarnya membuat kepalaku pusing waktu pertama kali aku berjumpa dengannya. Derai tawanya yang terlalu ramai dan suara manjanya yang terlalu dibuat-buat. Dia memang jauh berbeda dengan Siska, gadisku yang dulu. Siska yang cerdas, cantik alami tanpa perlu make-up, dan cenderung pendiam tak banyak bicara. Entah mengapa aku berpaling darinya.
Gadisku yang kampungan itu...ah...entah mengapa aku tertarik padanya. Sejak bertemu di warkop dekat rumahku. Lirikannya, senyuman genitnya, perhatiannya. Dan tak ada yang lebih hebat dari ciumannya, rintihannya dan gerakan tubuhnya. Alunan suaranya saat menyanyikan lirik-lirik yang menghujat cinta bisa membuatku terdiam tanpa bisa berbuat apa-apa selain menatap matanya dengan eye shadow mengkilat itu.
Gadisku yang kampungan, yang memujaku seperti pangeran yang jatuh dari bulan. Gadisku yang kampungan, yang sedang berbaring di sampingku dengan tubuhnya yang telanjang, tertidur lelap. Kutatap wajahnya yang polos, tanpa make-up. Dan aku membodohi diriku sendiri ketika aku ingat kalau aku tidak pernah mengatakan padanya kalau aku mencintainya. Kupeluk tubuhnya erat-erat. Kuusap perutnya lembut, tempat benih cintaku dan cintanya sedang bertumbuh. Gadisku memang kampungan, tapi apa bedanya kalau ia mencintaiku?
Kekasih Himiko
LARUT malam itu, dalam posisi lamban yang membuat beban tubuh mereka berkurang, Bird dan Himiko bercinta dalam kegelapan yang lembab selama sejam tanpa terputus.Bagaikan binatang yang sedang melakukan pembuahan, mereka melakukannya dalam keheningan hingga selesai.Lagi dan lagi Himiko terpekik saat mencapai puncak, dengan selang waktu pendek diselingi jeda yang meletihkan.Bird setiap kali teringat pada sensasi menerbangkan sebuah pesawat terbang mainan pada senja hari di lapangan permainan sekolahnya. Himiko melengkungkan tubuhnya sehingga membentuk lingkaran lebar, bergetar dan mengerang saat meniti jalan ke langit bagaikan sebuah pesawat terbang mainan yang bekerja oleh sebuah motor yang terbebani. Lalu dia turun kembali ke landasan pacu tempat Bird telah menunggu, dan saat hening yang berulang pun tercipta.
Seks bagi mereka kini telah berakar dalam sensasi ketenangan sehari-hari. Bird merasa seolah-olah telah bercinta dengan gadis itu selama lebih dari seratus tahun. Seks kini terasa begitu sederhana, dan tentunya, tak lagi menyembunyikan kecurigaan atas ketakutan-ketakutannya yang paling mendasar.
Baginya, kini tubuh Himiko adalah kesederhanaan itu sendiri, sekantong damar buatan yang lembut.Dia amat merasa damai, karena Himiko secara terbuka dan tanpa syarat membatasi hubungan seksual mereka hanya untuk objek kesenangan belaka.
Bird teringat bagaimana rasanya saat dia melakukan dengan isterinya dan perasaan-perasaan ketakutan mereka. Bahkan kini, setelah bertahun-tahun perkawinan, mereka terperosok pada perasaan muram setiap kali begituan. Kaki dan tangan Bird akan mendesak tubuh istinya, layu dan kaku dalam pertarungan mengatasi rasa jijik dan istrinya menerima sebagai sebuah serangan.
Lalu denga n merasa marah, dia akan memaki Bird, bahkan mencoba untuk balas menyerang. Akhirnya, ujungnya selalu sama: dia akan terlibat dalam sebuah pertengkaran tak berarti, menarik diri dari tubuh istrinya dan terus menjauh hingga sepanjang malam, atau dia menyelesaikan ketergesaannya dengan sebuah kepahitan.
Bird sempat menggantungkan harapan akan terjadinya revolusi dalam kehidupan seks mereka setelah kelahiran seorang anak dan....
Karena Himiko secara berulang mencumbu Bird dengan keterampilan yang luar biasa, Bird memilih puncak paling bernafsu Himiko sebagai momen yang tepat bagi dirinya sendiri. Tapi ketakutan pada malam panjang yang mengikuti setiap akhir persetubuhan, mereka terus menahannya. Dengan dungu Bird bermimpi tentang tidur yang paling melenakan, menggapai lekukan lembut menuju puncak kenikmatan.
Tapi Himiko terus terbang, jatuh menukik ke landasan dalam sebuah liukan lembut dan tiba-tiba menari kembali ke angkasa bagaikan layang-layang yang terperangkap. Saat kembali mendarat di landasan yang salah, Bird mendengar bunyi telepon berdering. Dia mencoba bangkit, tapi Himiko menjepitkan tangannya melingkari punggungnya. "Teruskan, Bird,'' katanya sesaat kemudian, seraya mengendorkan pelukan.
Bird melompat ke arah telepon yang masih berdering di ruang tengah. Terdengar suara lelaki muda menanyakan ayah seorang bayi yang sedang dirawat di rumah sakit universitas. Bird mengejang, menjawab dengan suara seperti dengungan nyamuk. Telepon itu membawa pesan dari dokter.
"Maaf, kami terlambat memberitahu, tapi kami sangat sibuk di sini,'' kata suara itu dari kejauhan. "Saya meminta Anda untuk hadir pada pembedahan otak jam sebelas besok pagi. Ini dari kantor Asisten Direktur. Dokter bermaksud menelepon Anda secara langsung, tapi dia berhalangan. Kami sangat sibuk sehingga terlambat memberi tahu!''
Bird menarik napas panjang dan berpikir: bayi itu mati, Asisten Direktur akan melakukan otopsi.
"Aku paham. Aku akan datang besok jam sebelas. Terima kasih. ''
Bayi itu makin lemah dan mati! Bird berkata pada dirinya sendiri saat meletakkan kembali gagang telepon. Tapi kunjungan macam apa yang dilakukan oleh maut pada bayi itu sehingga dokter perlu memperingatkan terlebih dulu? Bird merasakan pahitnya empedu yang meluap dari perutnya. Sesuatu yang besar dan luar biasa menatap padanya dari kegelapan tepat di hadapan matanya. Seperti seorang entomolog yang terperangkap di dalam sebuah gua hidup-hidup dengan seekor kalajengking, Bird berjingkat ke ranjang, gemetar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ranjang itu, sebuah sarang yang aman: dalam hening Bird terus gemetar. Lalu, seolah-olah berusaha menggali kepuasan di kedalaman sarang itu, dia mencoba memasuki tubuh Himiko. Dengan tak sabar ia mengulangi kegagalannya dan hanya separuh semangat. Jari-jemari Himiko membimbing Bird. Dengan cepat rangsangannya membangkitkan gerakan binal gadis itu. Pada saat pasangannya mencapai klimaks, Bird mundur dan terpuruk dalam masturbasi hampa. Menyadari pukulan godam di belakang dadanya sebagai rasa sakit, Bird tergeletak lunglai di samping Himiko dan merasa percaya tanpa alasan bahwa suatu hari dia akan mati karena serangan jantung.
"Bird, kamu benar-benar tampak ngeri,'' kata Himiko, mengeluh seraya menatap aneh wajah Bird melalui kegelapan.
"Ah, maafkan aku.''
"Ya,'' sahut Bird, ketakutan.
"Apakah itu tentang kantor Asisten Direktur?''
"Mereka ingin aku ada di sana besok pagi.''
"Sebaiknya kamu minum pil tidur dengan wiski lalu tidur, kamu tak perlu menunggu telepon itu berdering lagi.''Suara Himiko terdengar lembut.
Saat Himiko hendak menyalakan lampu di sisi ranjang dan pergi ke dapur, Bird menutup matanya untuk menghindari cahaya lampu, menghalanginya dengan tangannya dan mencoba menyingkirkan kerikil tajam yang menancap di otaknya - mengapa bayi sekarat itu membuat dokter sibuk hingga selarut ini? Tapi Bird segera diserang oleh rasa takut. Dengan membuka sedikit matanya, dia meraih gelas dari tangan Himiko yang sepertiganya berisi wiski dan memungut beberapa butir pil tidur, menelan dalam sekali helaan, dan kembali memejamkan matanya
"Itu bagianku juga,'' kata Himiko.
"Ah, maafkan aku,'' ulang Bird dengan tolol.
"Bird?''Himiko berbaring di atas ranjang dengan mengambil jarak dari sisi Bird.
"Aku akan menceritakan padamu sebuah dongeng sampai wiski dan pil itu bekerja - satu bagian dari sebuah novel Afrika.Apakah kamu pernah membaca tentang hantu perompak?''
Bird menggelengkan kepalanya dalam kegelapan.
"Ketika seorang perempuan mengandung, hantu perompak memilih salah satu di antara mereka untuk menyelinap ke rumah perempuan itu. Sepanjang malam, hantu ini mengganyang janin yang sesungguhnya dan masuk ke dalam rahim. Saat hari kelahiran, hantu itu lahir ke dunia sebagai janin yang tak berdosa...''
Bird mendengarkan dalam hening. Sejak dulu kala, banyak bayi yang terserang penyakit. Saat ibu mereka memberi sesajen dan berharap dapat menolong anaknya, hantu perompak diam-diam menyembunyikan diri dalam lubang rahasia. Bayi-bayi ini tak akan pern ah sembuh. Apabila bayi itu mati dan tiba saatnya untuk dikubur, hantu itu kembali ke ujud asalnya dan kabur dari kuburan, kembali ke sarang para hantu perompak dengan membawa serta sesajen dari lubang persembunyiannya.
 "... janin itu lahir sebagai bayi yang lucu sehingga membuat ibunya jatuh hati dan tak ragu-ragu memberikan semua yang dia minta. Orang-orang Afrika menamakan bayi-bayi itu 'anak-anak yang lahir ke dunia untuk mati', tapi bukankah indah sekali membayangkan betapa lucunya mereka, bahkan bayi-bayi mungil sekalipun!''
 Barangkali Bird akan menceritakan kisah itu pada istrinya. Bird lantas berpikir, "Dan karena bayi kami dilahirkan untuk mati, perempuan itu akan membayangkan sebagai seorang bayi yang amat cantik. Aku bahkan akan meralat memoriku sendiri. Dan itu akan menjadi penipuan terbesar seumur hidupku. Bayiku yang aneh mati tanpa perbaikan pada kepala kembarnya yang buruk, bayiku adalah seorang bayi yang aneh dengan dua buah kepala hingga waktu tak berbatas setelah kematiannya. Dan jika ada sesosok raksasa muncul sebagai algojo pada saat itu, bayi dengan dua kepala itu pasti akan terlihat olehnya, dan ayah bayi itu juga.''
Merasakan perutnya mual, Bird membenamkan diri dalam tidurnya seperti sebuah pesawat terbang yang jatuh dari angkasa, tidur bisa membuat kita tertutup dengan cahaya impian. Dalam sisa-sisa ingatan kesadarannya, Bird mendengar bayang-bayang suara mendiang ibunya berbisik: "Bird, kau benar-benar akan merasa ngeri!'' Bird melemparkan tubuhnya ke belakang seolah-olah sebuah beban berat tergantung di kepalanya dan, seraya mencoba menutup kedua lubang telinganya dengan ibu jari, dia membenturkan sikunya pada mulut Himiko. Dengan meneteskan air mata karena kesakitan, Himiko menatap melalui kegelapan pada kawan tidurnya yang mengejang tak wajar. Himiko bertanya-tanya apakah Bird telah salah menafsirkan telepon dari rumah sakit. Mungkin bayi itu telah benar-benar mati; lagi pula, bagaimana mungkin dia menyembuhkan dengan hanya memberi susu terus-menerus? Dan tidakkah mereka ingin agar Bird ada di rumah sakit untuk merundingkan soal operasi?
Kawannya tertidur di sampingnya dengan tubuh terlentang tak nyaman bagaikan seekor orang utan di kandang. Bau wiski yang menyengat tercium dari dengus napasnya, terasa konyol dan menyedihkan bagi Himiko. Tapi tidur akan menjadi istirahat sejenak sebelum kehebohan esok pagi. Himiko bangkit dari ranjang dan menyentakkan tangan dan kaki Bird; dia begitu berat seperti raksasa, tapi tubuh itu tak melawan. Ketika Bird terbaring terlentang dengan leluasa di atas ranjang sehingga dia bisa tidur lebih nyaman, Himiko menyelimuti dirinya dengan sehelai seprei dengan gaya seperti seorang filsuf Yunani dan beranjak ke ruang tengah. Dia hendak mempelajari peta Afrika hingga saat matahari terbit.
Kenzaburo Oe, dilahirkan di Shikoku pada tahun 1935. Dia adalah peraih Hadiah Nobel Sastra tahun 1994. Pengarang Jepang ini mempublikasikan cerpen pertamanya pada saat masih kuliah dan kariernya terus melesat dari tahun ke tahun.BeberapakaryapentingnyaantaralainThe Catch (1958) yangmemenangkanAkutagawa Prize, A Personal Matter (1963)dan Football in the First Year ofMannen (1967) yangmemenangkanTanizaki Prize.CerpendiatasditerjemahkanolehAntonKurniadari A Personal Notedalambuku A Personal Note; Groove Press,New York, 1995,halaman 132-136.Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Anton Kurnia.
Hari itu tanggal 15 November tahun 1999 dan Putri seharusnya tahu bahawa secara ilmiah, nyawa saya sebenarnya sudah melayang alias tercopot atas sebab usus saya yang diserang oleh yang namanya kanser  dan nyatanya saya saat ini masih ada dan berdiri di sini dan keadaannya sebenarnya belum pun bisa sembuh sepenuhnya yang terkadang datang sakitnya secara tiba-tiba yang lalu menyebabkan saya pengsan dan terlantar di ranjang untuk beberapa waktu lamanya dan memang begitulah keadaan saya.
Seharusnya demikianlah yang telah dijadualkan seperti yang diperkatakan oleh Dr. Hilmi yang merawat penyakit saya sejak beberapa tahun yang dilewati, tapi Putri tentunya tahu/malah amat tahu yang saya sememangnya selalu saja yakin sangat dan percaya benar bahawa yang namanya Tuhan jualah yang menentukan segala apa pun bentuk kehidupan yang bakal saya hadapi nantinya disamping saya berusaha dan terus selalu berdoa kepada Dia Yang Maha Berkuasa segala.
Saya ulangi sekali lagi bahawa yang jelas dan pasti sangat seperti yang saya nyatakan bahawa Tuhan jua yang menentukan panjangnya umur saya yang ternyata hingga sampai ke saat ini dan tentunya keadaan sedemikian berlaku jua akibat doa dan restu kawan-kawan yang cukup baik sekali terhadap saya alias selalu atau seringkali saja memberikan saya perangsang atau semangat untuk melawan kanser yang sudah sekian lama menyerang dan mendiami usus saya tanpa keizinan sememangnya.
Sekarang ini saya kembali lagi ke sini. Iya, saya kembali lagi ke sini yang keadaannya semacam penjara besi melulu yang cukup merisaukan dan menakutkan saya secara total pada hakikatnya dan untuk makluman Putri bahawa saya dihantar ke sini pun tanpa saya sedari langsung dan bila saya sedar tau-tau saya sudah berada di ranjang dan saya sendiri dimaklumkan yang saya dihantar kala sakit usus saya semakin menekan yang menyebabkan saya biasanya pengsan dan kala itu saya selalu tidak ingat apa-apa langsung yang berlaku di sekeliling saya dan sekarang yang pasti keadaannya benar-benar menjadikan saya tidak menentu disamping saya sebenarnya langsung tidak punya kemampuan untuk menahan sakit yang selalu menekan-nekan apa lagi mahu melawannya alias menyingkirkannya untuk maksud tidak mendekati saya.
Putri tahu bahawa terasakan sangat yang seluruh isi perut saya agak memulas-mulas yang semacam mahu keluar. Iya terus memulas-mulas yang semacam ada peperangan yang maha mengerunkan di dalamnya. Sakit dan amat sakit sekali bagai mahu tercabut nyawa saya dibuatnya. Rasanya tak dapat diperkatakan bagaikan keadaannya dan tidak bisa dibayangkan langsung sakit yang dimaksudkan.
Iya, sakitnya bukan main hebat yang terkadang menyebabkan saya berpeluh dan berpeluh yang terkadang jua langsung saja tidak sedarkan diri sambil mengeletar dan terkapar. Mengeletar dan terkap ar yang lalu atau akhirnya seluruh badan saya selalunya menjadi lemah dan tak termaya langsung, apa lagi untuk bergerak seperti yang orang lain lakukan saban waktu.
Putri tahukah bahawa saya sekarang ini harus berjuang untuk menghadapi hidup yang sisa ini? Iya harus berjuang sangat. Berjuang untuk melawan maut yang terasakan ada di mana-mana akibat kanser yang tidak pernah sedikitpun mahu menjauhkan diri dari saya, apa lagi mahu meninggalkan usus saya? maut yang kata doktor bakal mendekat selalu membayang yang menyebabkan semua orang bermuka tegang, ngeri, pilu yang amat sangat melihat saya sedemikian rupa kelihatannya.</font></span></p><div height="0"></div><div height="0"></div><p width="0" align="left"><span><font size="3" face="Times New Roman" color="#000000"><br></font></span></p><div height="0"></div><div height="0"></div><p width="0" align="left"><span><font size="3" face="Times New Roman" color="#000000">  </font></span></p><div height="0"></div><div height="0"></div><p width="0" align="left"><span><font size="3" face="Times New Roman" color="#000000"><br></font></span></p><div height="0"></div><div height="0"></div><p width="0" align="left"><span><font size="3" face="Times New Roman" color="#000000"> Saya sebenarnya semacam tidak terdaya lagi melawannya, malah akan mudah menyerah kalah dan memangnya tidak terdaya melawannya dan selalu saja saya berfikir dan bertanya bahawa kenapa saja Tuhan Yang Maha Berkuasa itu tidak mengambil nyawa saya tanpa menyakitkan saya sebegini rupa dan bukankah kalau-kalau nyawa saya Ia copotkan yang tentu saja sakitnya hanya sekali saja dan kapan saya nyatakan hal ini kepada putri, rupanya Putri amat memarahi saya dan mengatakan bahawa saya kononnya suka sangat menyerah kalah tanpa mahu melawan dan yang paling tidak saya ingini bahawa Putri mengatakan yang saya ini seorang karyawan yang maha pengecut sangat. Astaga, apakah memangnya saya ini maha pengecut sangat seperti yang diperkatakan oleh Putri?
Kata-kata Putri itu sebenarnya tidak benar dan kelihatannya ia punya maksud sesuatu yang lain. Memangnya tidak benar dan saya tahu bahawa Putri sengaja memperkatakan kenyataan itu dengan harapan saya bakal marah dan kapan nantinya saya marah, maka diharapkannya saya bakal berusaha untuk membuktikan yang saya bukanlah memiliki sikap seperti yang dinyatakannya oleh Putri. Saya tahu sangat tujuan Putri berkata sedemikian. Ah, lupakan saja hal itu.
Iya, sekarang inipun saya terus saja bergulatan dengan segala macam kesakitan yang amat sangat sambil saya pegangi perut saya yang sakitnya selalu saja ada di mana-mana. Secara naluriah saya selalu saja meraba-raba dan kemudian mencari benjolan yang selalu saja saya rasakan ada. Iya, memangnya ada. Sekejap ada dan sekejap pula tidak ada. Begitulah.
Kadang-kadang terasakan sangat ia ada dan kadang-kadang tidak ada. Sekejap ada dan sekejap tidak ada. Sekejap m enghilang yang entah ke mana perginya. Kemudian selalu saya menekan-tekan dengan harapan yang sakit itu dan pedihnya berkurangan. Terkadang saya tekan ke kanan sedikit dari pusar, kalau saya tekan serasa semakin sakit, semakin pedih, semakin ngilu. Iya semakin sakit sangat. Sakit sangat. Teramat sakit.
Memang sakitnya semakin menjadi-jadi.Terus semakin sakit dan sakitnya amat menggigit, sakitnya terlalu menyeksakan, pedihnya terasakan semacam membawa kepada kematian/kematian yang tentu saja belum sangat saya inginkan kala memikirkan masih banyak yang perlu dan belum terlaksanakan.
Barangkali perlu sangat saya jelaskan kepada Putri bahawa semalaman ini saya sebenarnya tidak bisa tidur kerana bukan saja akibat sakit yang saya deritai, malah terlalu banyak yang harus saya fikir-fikirkan sangat yang tentunya ada beribu macam atau bermacam-macam dan tentunya tidak pernah difikirkan orang, meskipun Dr. Hilmi sendiri sudah memberikan saya pil penenang untuk maksudnya supaya saya sesegeranya lena tidur yang membolehkan saya dapat menghimpunkan sedikit tenaga saya yang sisa dan memang sekarang ini saya agak lemah dan teramat lemah sekali, tapi tidak pula sedemikian jadinya. Ah, entahlah apa lagi yang harus saya lakukan untuk menghilangkan rasa sakit yang selalu menekan-nekan yang menyebabkan saya seringkali saja tidak bisa langsung untuk menahannya yang terasa sangat semacam nyawa saya bakal melayang.
Sekarang ini saya memang bersendirian di sini. Iya, memangnya bersendirian di sini tanpa sesiapapun. Di sini ini keadaannya saya anggap sebagai penjara yang memang tidak saya sukai langsung, tapi terkadang ada kalanya saya suka sangat. Kala tidak suka bilamana keadaan saya semacam diganggu sangat terutama sekali kala ramai sangat yang mahu datang dan bertanya hal-hal yang bukan-bukan terhadap saya yang tentunya pertanyaan yang tidak saya sukai bakal menambahkan berat beban yang saya tanggung segala. Itulah yang tidak saya suka dan saya menjadi suka pula kapan kehadiran saya di sini tanpa sesiapa yang mahu melihat saya atau saya suka kala saya dibiarkan sendirian yang ertinya tidak diganggu oleh sesiapapun dan tentunya tidur saya akan pasti tenang-tenang saja.
Kamu bukannya tidak tahu Putri bahawa saya sendiri tidak mahu sesiapapun untuk datang melihat saya sedemikian. Memang begitulah sejak dulu, apa lagi melayan saya sebagai orang yang amat sakit atau melayan saya sebagai si tua renta yang menunggu saatnya untuk mati. Iya, meskipun pada hakikatnya saya merasakan amat sunyi dan sepi sekali di sini, tapi saya cukup merasa berbahagia sangat di sini kecuali/saya ulangi lagi yang saya tidak suka sangat kerana dilayan sebagai orang sakit yang ada bermacam larangan dan segala macam pantang dan kalau memang Tuhan berkehendakkan saya sekarang ini untuk hadir di sisi-Nya, maka saya rela dan mengizinkan sangat untuk menyerahkan nyawa saya kepada Dia.
Rasa sunyi yang mengelilingi saya pada saat ini cukup mengingatkan saya tentang kematian yang tentunya setiap orang bakal menghadapi hakikat kematian itu secara sendiri tanpa ditemani oleh sesiapapun/baik mereka yang selalu berjanji untuk sehidup semati yang sebenarnya/padahal selalunya janji yang diperkatakan diikat dan disimpul mati selalu saja tidak menjadi kenyataan. Ah, kan semua yang dinyatakan sekadar permainan kata-kata dan bukankah Putri pernah menyatakan sebegini:Indahnya sangat bahasa, seindah niatkah? hati-hati kerana sehari pahitnya berpanjangan Apa maksudnya duhai Putri? Yalah tu..he..he. Masih ingatkah kamu duhai Putri?
Iya, memangnya keadaan di sini benar-benar teramat sunyi sekali yang semacam kala berada di dalam hutan bambu kala malam nun jauh di kampung halaman Pak Karno di Pedalaman. Iya terlalu sunyi sekali dan memang saya sendiri tidak mahu seorangpun datang untuk melihat saya/meskipun anak-anak saya yang cukup baik kepada saya sejak dulu hingga sekarang. Bukan kerana apa-apaan, tapi memangnya saya sendiri tidak mahu menyusahkan mereka. Iya, saya amat kesihan sangat kepada mereka yang belum tahu apa-apa lagi kecuali yang sudah cukup dewasa dan tahu sangat akan keadaan saya sejak sekian lama.
Putri tahu kenapa saya berbuat dan memutuskan hal sedemikian? Iya, memang terkadang saya sendiri tidak berniat untuk menyatakannya, tapi sesungguhnya saya tidak mahu melihat anak-anak saya hidup dalam keadaan yang tertekan dan tertekan alias susah hati atau tidak tenang dan biasanya kalau mereka hadirpun saya sebenarnya selalu berusaha sangat untuk kembali membangunkan semangat saya yang telah hilang dengan harapan mereka semuanya tidak terlalu runsing sangat terhadap diri saya, apa lagi keadaan saya sejak kebelakangan ini.
Saya rasakan jururawat yang bernama Siah itu memangnya agak semalaman tidak bisa tidur atau melelapkan matanya kerana asyik menjaga dan memerhatikan saya yang memang sudah sekian lama terlantar di ranjang. Siah memang sudah mengenali saya dan suatu waktu ia menyatakan sudah lama mengenali saya atas sebab sesuatu yang saya hasilkan selama ini. Tentu saja Siah selalu membaca apa saja yang saya tulis. Begitukah?
Siah memangnya jururawat yang baik sekali dan secara kebetulan memangnya antara saya dan dia berjiran. Itulah yang menyebabkan ia terlalu banyak berbudi kepada saya atau mengambil perhatian yang lebih sedikit dari para pesakit lain. Sebenarnya saya sendiri mengharapkan sangat agar ia tidak usah terlalu sangat menyusahkan dirinya akibat memerhati dan menjaga saya. Saya selalu saja memperkatakan bahawa saya semema ngnya tidak mahu dilayan seperti orang yang sakit alias mahu mati.
Siah memang terlalu baik kepada saya. Sesungguhnya ia punya hati yang cukup mulia dan tidak ada lagi yang baik sangat selain dia yang namanya Siah yang saya kenali itu kecuali Putri yang hadir dalam hidup saya sejak bertahun-tahun lamanya.
Meskipun Putri tidak selalu menghubungi abang lantaran yang kita punya tugas masing-masing yang harus selalu saja diselesaikan, tapi perkembangan dunia abang selalu saja saya ikuti dan tanya-tanyakan kepada kawan-kawan yang terdekat Tulis Putri kepada saya dua bulan lalu yang dikirim lewat email. Iya, di mana kamu sekarang duhai Putri?
Siah yang sejak sekian lama dekat saya kemudiannya memegang tangan saya dan sesudah itu ia mengusap-usap dahi saya yang selalu dirasakanya amat dingin dan terkadang berpeluh. Siah kira saya sedang asyik tidur ketika itu dan saya sendiri bisa merasakan sentuhan tangannya dan saya tahu sangat bahawa subuh tadi dia bersembahyang yang tentu saja asyik mendoakan saya melulu walaupun dia sendiri tidak pernah menyatakannya kepada saya.
 Saya kira kalau saya tidak silap bahawa hal doa Siah terhadap saya pernah suatu siang dibisikkan oleh Dr. Hilmi ke telinga saya sambil menyatakan yang Siah terlalu menyukai apa saja yang saya tulis dan saya ketika itu hanya diam mendengar kenyatan Dr. Hilmi sambil tidak berkata apa-apa pun, tapi saya tahu mereka hanya mahu menyenangkan hati saya melulu dan kata-kata itu sebenarnya memang menyebabkan saya punya keinginan sangat untuk terus hidup sebab kehadiran saya semacam dihargai dan secara tidak langsung penghargaan itu kian memperkuatkan semangat saya untuk terus melawan maut yang selalu membayang dalam fikiran saya sejak sekian lama.
Sesekali saya bisa menangis yang semacam anak kecil yang dimarahi oleh ibunya kapan mengenangkan hal saya yang sekian lama terlantar di ranjang tanpa sesiapa pun yang hadir di sisi saya dan kemudian begitu senang pula air mata saya keluar yang bukan kerana apa-apa, tapi terasakan sangat bahawa betapa sia-sianya hidup saya yang sekian lama saya lewati selama ini tanpa apa-apa kerana selalu saja melupakan adanya Dia dan saya berusaha sangat untuk maksud menahan deras air mata saya agar nantinya bisa mengelakkan ia dari terus dilihat oleh yang nantinya datang untuk menemui saya.<
Kenapa Putri begitu baik kepada saya sehingga Putri berusaha memohon kepada Tuhan agar malaikat Izrail tidak mencabut nyawa saya? kata saya kala saya bersendirian dan saya sendiri memang selalu saja membisikkan kepada Tuhan supaya memberikan saya kesempatan yang banyak untuk memperbaiki semangat saya termasuk laluan yang jauh sangat tersesat di persimpangan jalan untuk maksud bersembahyang lebih banyak, kerana biasanya kala sesiapapun sembuh terutama sekali seperti saya ini akan pasti selalu saja lupa tentang adanya Dia Yang Maha Berkuasa segala. Jadi, saya berjanji bahawa saya akan melakukan sesuatu yang terbaik dalam hidup saya sebelum saya mati nantinya.
Saya lihat Putri yang tiba-tiba ada dekat saya masih menundukkan kepalanya dan asyik terus menatap wajah saya yang tentunya agak pucat dan lemah. Pucat dan lemah. Iya, kapan Putri sampai di dekat saya? Tanya saya kepada Putri dan saya kira tentunya Putri tidak bisa mendengar apa saja yang saya tanyakan. Apakah memangnya saya bertanya?
 Saya lihat kepalanya semacam bergoyang ke kiri dan ke kanan menurut irama zikirnya yang menyebabkan saya tersangat malu kepada Putri yang dulunya ia adalah seorang guru yang beragama kristian yang amat taat dan tiba-tiba dapat menjadi seorang muslim yang sedar dan penuh keinsafan, sedang saya pula entah susah sangat mahu diperkatakan/walaupun saya dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang beragama/tetapi yang jelas saya sendiri seringkali saja lupa tentang adanya Tuhan Yang Esa jika selalu saja bergelimang dengan kesenangan yang berlebih-lebihan. Inilah akibatnya kalau Tuhan selalu memberikan kesenangan yang tidak sepatutnya saya dapatkan. Aduh, kenapa saya jadi sedemikian?
Tiba-tiba entah bagaimana dalam keadaan sedar dan sesekali tidak sedar, saya bisa takut sangat akan saat kematian saya seperti yang dijanjikan/seperti yang dijelaskan oleh Dr. Hilmi yang merawat saya sejak sekian lama. Saya pada hakikatnya sememangnya tidak mahu mati dan saya memangnya tidak mahu sendiri di dalam kubur nantinya, apa lagi tanpa Putri yang cukup saya ingati selalu/saya memang tidak mahu dihantar ke kubur yang tentunya bakal dingin dan sepi. Sepi dan dingin. Dingin dan sepi sekali. Sempit sekali.
Ketahuilah Putri bahawa saya sememangnya amat takut sekali. tersangat takut untuk maksudnya dioperasi dan memang saya tidak mahu dioperasi sebab setahu saya operasi merupakan jalan terakhir yang biasanya terpaksa kemudiannya bakal menghadapi kematian. Itu kata kawan-kawan saya yang asyik menasihati saya supaya membatalkan saja operasi itu sebab kira-kira seminggu lalu Pak Suki sendiri menjadi mangsa operasi dan terpaksa menemui ajalnya, padahal sebelumnya ia begitu bersemangat sangat kala berbicara dengan saya pada suatu sore tentang seni muzik biola yang selalu menemani hidupnya yang tinggal sisa.
 Manalah tahu kalau memang dijadualkan untuk saya dioperasi esok hari dimana dengan secara tiba-tiba saya langsung saja mati meski pun secara terpaksa/ketika dibius misalnya dan tentunya tidak bisa menyebut yang namanya Tuhan, apa lagi untuk menyebut kalimah yang harus saya ucapkan sebelum saya mati nantinya. Iya, rasanya saya semacam diburu sangat oleh bayang-bayang kematian yang menyebabkan saya amat ketakutan sekali. Iya, amat takut sekali. Bantulah saya Putri!
Iya, sebaiknya saya minta Putri datanglah dan bantulah saya untuk menyatakan kepada Dr. Hilmi supaya saya tidak dioperasi.Tolong katakanlah segera bahawa saya sememangnya berkeberatan sangat untuk dioperasi kerana terasakan sangat yang saya semacam mahu mati.
 Ah, tapi yang jelas Putri sekarang ini sedang berada di sisi saya. Iya, Putri memang berada di sisi saya. Kapan Putri datang? Kenapa tidak Putri beritahukan saya sebelum datang? Apakah memangnya Putri yang sekarang duduk dekat saya? Saya lihat Putri terus menatap wajah saya tanpa bicara apa-apa tapi saya lihat Putri terus saja berdoa dan mengharap sangat sesuatu untuk maksud saya segera sembuh seperti sebelumnya. Begitukah Putri? Iya tentu sekali.
Saya memangnya semacam merasakan sedang berlari tunggang-langgang akibat dikejar oleh malaikat maut yang galak matanya dan ganas sangat wajahnya serta amat menakutkan saya yang selalu saja mengekori saya ke mana saja saya berpergian. Kenapa kamu harus mengekori saya duhai sang Malaikat Maut? Kamu jelasnya membikin saya dalam dunia ketakutan yang amat sangat dan kemudian akibat ketakutan itulah saya langsung saja melanggar apa saja yang ada di depan saya untuk maksudnya saya menyelamatkan diri saya dari yang namanya kematian dan akhirnya saya menjerit sekeras-kerasnya yang lalu segera pula meloncat dari tempat tidur dan tiba-tiba saya tersentak kala Putri memegang tangan saya dan kemudian mengusap-usap dahi saya yang berpeluh-peluh dan dingin sekali. Kamukah Putri yang ada dekat saya sekarang ini? Bukankah Putri lagi kuliah dan bakal selesai dalam waktu yang terdekat ini? Putri tidak menjawab pertanyaan saya? Kenapa? Apakah Putri mendengar yang saya ini bertanya?
Tiba-tiba semua yang saya lihat menjadi kabur dan berkunang-kunang. Kabur dan berkunang-kunang. Saya terus saja membuka mata, tapi semacam tidak terdaya langsung/ sesekali bisa saya dibuka, tapi memangnya amat kabur sekali kelihatannya. Rasanya saya sedang melihat Putri duduk di dekat saya/di pinggir ranjang dan saya melihat ada beberapa orang doktor yang saya sendiri sudah lupa namanya kecuali Dr. Hilmi dan jururawat yang namanya Siah itu.
Kemudian saya melihat ada beberapa orang teman-teman saya mengelilingi saya sambil membaca sesuatu yang entah apa dan mulut mereka terkumat kamit. Apa yang mereka baca dan apa yang mereka doakan untuk saya? Iya, saya ingat mereka semacam membaca surah yasin yang memang selalu dibaca kala seseorang tengah berhadapan dengan maut seperti saya. Apakah saya memang berhadapan dengan maut? Saya tidak tahu, tapi memang malaikat maut itu selalu membayangi hidup saya.
Kemudian saya langsung saja mendengar suara lembut Putri yang saya kenal sejak sekian tahun dulu/kala ia masih belajar di Maktab Perguruan di pedalaman. Iya, kenapa tiba-tiba Putri datang dalam saat-saat saya sedemikian jadinya? Apa yang Putri mahu perkatakan kepada saya? Apa? Saya tidak mendengar dan kata-kata Putri memang kurang jelas. Maafkan saya Putri. Maafkan saya. Dan apakah Putri memangnya berkata-kata?
Putri telah datang dalam hidup saya. Kenapa Putri harus datang? Iya, memang Putri yang datang dalam hidup saya. Benarkah atau saya sekadar bermimpi? Saya tiba-tiba jadi sedih, pilu dan kemudian segera pula menangis. Saya menangis bukan kerana apa-apa, tapi pada saat-saat semacam ini tiba-tiba Putri datang dan memang ia selalu datang bila mana saya seringkali dalam kesusahan. Memang Putri terlalu baik. Iya, terlalu baik. Memangnya yang sekarang dekat saya adalah yang namanya Putri. Memang dan saya pasti sangat. Bukan bermimpi.
Putri benar-benar datang dan sedang menghadapi saya sekarang ini.Kononnya telah dikatakan sendiri yang Putri telah bermimpi minggu lalu yang saya sedang sakit tenat tanpa sesiapa di samping saya dan tanpa sesiapa yang memperdulikan saya dan memangnya sedemikian kenyataannya sebab saya sendiri memang tidak mahu memberitahukan kepada sesiapapun kala saya dihantar di tempat yang memang tidak saya sukai.
Wadoh, rupanya Tuhan telah membicarakan keadaan saya lewat mimpi kepada Putri. Tuhan memang terlalu baik kepada saya hingga saya sendiri masih bisa hidup sekalipun telah ditentukan yang saya seharusnya sudah mati pada November tahun lalu. Terima kasih duhai Tuhan!
Putri terus berkata-kata dan nyatanya tidak henti-henti membicarakan tentang mimpinya yang rupanya menjadi kenyataan. Saya terus saja menangis dan terus menangis. Bukan kerana sedih atau atas sebab saya terlantar di ranjang, tap i atas sebab terlalu terharu akan kebaikan yang diperlihatkan oleh teman-teman lain selain Putri dan Siah, apa lagi kala saya menghadapi keadaan semacam seperti sekarang ini.
Putri bertanya tentang kawan-kawan saya yang dulunya selalu bersama saya dan sekarang diberitahukan kepadanya asyik sangat menjauhkan diri dari saya, apa lagi kala kematian saya kian hampir dan semakin mendekat. Ah, saya tidak mahu menjawab pertanyaan itu sebab tidaklah penting sangat. Saya diam saja dan kerana mimpi yang ngeri itulah Putri segera datang mendekati saya dan sanggup pula meninggalkan kuliahnya sekadar mahu menjenguk saya yang entah bakal hidup atau bakal mati nantinya.
 Iya, memang tak siapa yang tahu kapan saya kembali kepada-Nya dan memang secara kebetulan yang saya sedang melawan maut alias berhadapan dengan maut yang tentu saja akan hadir pada bila-bila masa saja atas perintah Yang Maha Berkuasa. Ah, bagaimana pula kalau memangnya saya segera menemui Dia?
Kehadiran Putri sekarang ini cukup bermakna bagi saya dan sekarang saya amat takut sekali kalau saya nantinya mati akibat dioperasi. Saya takut dioperasi dan saya tidak mahu sama sekali Kata saya dalam keadaan sedar dan sesekali tidak sedar. Apakah Putri mendengar kata-kata saya?
 Tenang-tenanglah saja.. Tidak usah takut kerana kan putri sudah berada di sisi kata Putri selamba. Iya kata-kata Putri benar-benar memberikan semangat kepada saya untuk terus hidup dan memang saya berusaha untuk terus hidup dan menikmati makna/erti kehidupan ini bersama Putri seperti yang pernah dijanjikan sepuluh tahun yang dulu. Putri tentunya amat tahu segalanya. Putri ingatkah itu?
 Tidurlah sambung Putri lagi sambil ia pegang tangan kiri saya. Terasakan pegangannya amat perlahan sekali yang tentu saja ditakutinya pegangan itu mengganggu tidur saya. Iya, saya amat merasakan pegangan itu. Memang jelas yang ada dekat saya ialah yang namanya Putri, bukan orang lain. Memangnya dia adalah Putri. Iya, alangkah bahagianya saya.
Tidurlah?pinta Putri lagi.
 Tidak usah saya disuruh tidur dan nyatanya saya tidak akan tidur. Saya takut sekali ketika nantinya saya tidur kelak saya didorong pula ke kamar operasi. Demi Tuhan dan ketahuilah Putri bahawa yang saya langsung tidak mahu dioperasiKata saya serius. Putri tidak menjawab, tapi terus saja melihat wajah saya. Yang pasti Putri amat merasa serba salah segala.
 Demi putri dan kawan-kawan yang masih sayangkan abang, lebih baik saja dioperasi dan saya yakin bakal tidak ada apa-apa, lagipun saya sudah minta izin pada Dr. Hilmi yang saya akan menunggu abang di dalam kamar nantinya, jadi abang tidak usah khuatir sangat saya lihat Putri semacam menggeleng-gelengkan kepalanya yang lalu terdengarlah nasihat para doktor yang merawat saya sejak minggu lalu untuk maksud segera minta izin untuk melakukan operasi dan tidak lama kemudian/maksudnya sesudah itu saya tidak lagi mendengar apa-apa selain pasti bahawa kalaulah saya dioperasi, maka saya akan pasti mati. Iya akan pasti mati.
 Saya memang menolak untuk dioperasi dan kerana itu kapan saja dimasukkan ke rumah sakit, saya akan segera mengharapkan sangat diizinkan untuk pulang segera kerana rumah sakit sebenarnya menjadikan saya semakin bertambah sakit. Rumah sakit bukan maksud mahu menyembuhkan saya dari sakit, tapi rumah sakit sebenarnya dirasakan semakin menambahkan saya bertambah sakit dan segera kambuh semula. Iya, itulah tolakan yang muktamad dan tolakan itu merupakan kemestian yang harus dipatuhi oleh semua orang.
Saya memang takut sangat dan terasakan kalau nantinya dioperasi saya bakal mati. Berulangkali saya rasakan keadaan yang bakal terjadi. Memang saya amat takut sangat. Saya berusaha memegang tangan putri erat-erat dan putri hanya mendiamkan diri sama seperti sepuluh tahun yang lalu kala pertemuan pertama yang tentunya Putri sendiri tahu.
Iya, cuba saja Putri ingat-ingatkan peristiwa itu seperti yang selalu saya perkatakan. Ah, saya lihat Putri agak malu yang menyebabkan tidak mahu berkata apa-apa kecuali menyatakan yang cerita itu terlalu syok untuk dikenang kembali, tapi saya lihat dalam matanya ada rasa sayu, ada sedih yang amat sangat dan tiba-tiba hening seketika. Kenapa Putri jadi sedemikian?
 Saya sayangkan kamu Putri sebab kamu terlalu baik sangat dan kerana itu saya tidak mahu dioperasi sebab kalau dioperasi tentunya saya akan mati dan bila saya mati, tentunya saya dan Putri bakal berpisah dan saya tidak mahu perpisahan antara kita terjadi lagi sebab perpisahan bermakna kematian Putri terdiam, sedih, terharu dan tiba-tiba saya lihat putri menangis. Kenapa Putri menan gis? tapi saya rasa Putri semacam sengaja mahu menyembunyikan rasa sedihnya dan sempat menyatakan bahawa katanya hidup ini terlalu sengkat untuk dimengerti. Iya, kata-kata itulah yang selalu dicatatkan dalam surat-surat Putri sebelum ini. Apa maksudnya?
Saya yang sejak tadi asyik memerhatikan Putri secara tiba-tiba ikut menangis/menangis bukan kerana apa, tapi kerana mereka yang ada di sekeliling saya terlalu baik sangat kepada saya. Kenapa mereka baik sangat kepada saya? Iya, kebaikan semacam inilah yang selalu menjadikan saya tidak tenang sebab selalu saja semacam berat membawa beban budi, tapi Tuhan selalu saya harapkan akan memberikan berjuta rahmat kepada mereka yang terus mengasihi saya.
Saya tahu yang abang tidak tenang sekarang ini dan sebaiknya abang tidur saja tanpa memikirkan apa-apa yang menyebabkan sakit abang semakin bertambah dan percayalah saya tidak akan ke mana-mana, malah saya akan terus menjaga abang dan mempastikan yang abang kembali sihat seperti sepuluh tahu dulu Kata-kata Putri semacam bermain-main di telinga saya. Iya, saya ingat sangat akan kata-katanya itu. Memangnya itulah suara Putri, bukan suara orang lain. Memang suara Putri. Amat pasti segala. Saya tidak salah lagi. Memang pasti sangat.
Saya tidak mahu tidur Putri dan tidak akan tidur. Demi Tuhan, batalkan saja operasi itu. Rasanya esok adalah hari nahas saya. Kalau Putri memang mahu membunuh saya, maka lakukan saja operasi itu, tapi yakinlah bahawa kalau memang dilakukan jua, itu bermakna pertemuan kita akan berakhir di sini Putri bingung. Benar-benar binggung. Amat binggung sekali dan saya memang terisak-isak menangis yang semacam anak-anak yang kehilangan sesuatu.
 Saya merasakan ada tangan lain yang mengusap air mata saya dan saya kenal benar tangan itu. Iya saya kenal benar dan menurut Putri kakak saya yang baru saja tiba dari Sembulan sedang menghadapi saya bersama dua orang putera saya yang cukup baik kepada saya. Benarkah kedua-dua putera saya hadir sama? Ah, yang pasti saya tidak dapat melihat mereka kerana yang jelas yang saya lihat agak kabur sekali alias berkunang-kunang.
Iya, saya tahu tangan yang mengusap itu milik kakak saya dan yang menghampiri saya pula adalah jua adik kesayangan saya yang satu-satunya itu. Kenapa yang lain tidak hadir sama? Ke mana dia sekarang ini? Siapa dia yang saya maksudkan? Entahlah dan kenapa jadi demikian?. Tak apalah, saya sendiri tidak mahu menyusahkan orang lain, apa lagi untuk melihat saya yang terlantar di sini. Tak apalah Putri.
Tidak apalah kerana saya sendiri tidak memerlukan sangat kehadiran yang lainnya sebab saya sendiri lebih tidak suka didatangi oleh sesiapapun kala menghadapi saat sedemikian rupa dan kerana itulah tahun lalu ketika saya dimasukkan ke tempat sama telah saya pesan kepada Siah supaya tidak diberi tahukan kepada sesiapapun yang saya ditahan di tempat sama dan hampir 10 hari saya terlantar tanpa sesiapa dekat saya kecuali Siah yang memang terlalu baik terhadap saya. Terima kasih banyak Siah!
Iya, sekarang saya semakin lemah. Benar-benar lemah. Sakit terasakan di mana-mana. Menusuk, menikam dan menusuk luati. Darah semacam terhenti mengalir ke mana-mana. Jantung semakin guyah dan terasakan semacam enggan berdegup. Degupnya sesekali terasakan terstop secara mendadak. Payah sangat untuk saya mencari nafas yang hilang. Iya, kenapa saya sedemikian jadinya? Apa yang telah terjadi dalam diri saya ini?
Saya rasakan dunia ini semacam menghilang. Saya rasa dunia semacam tidak mahu menerima kehadiran saya. Sakit semakin menikam. Iya, semakin menikam dan terus saja menikam. Bisanya tidak pernah saya rasakan sebelum ini dan saya benar-benar jadi lemah. Lemah yang tidak bermaya langsung. Benar-benar lemah. Lemah sangat hingga saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mulut terasa berat untuk berkata-kata. Memang tersangat berat untuk berkata-kata. Maha berat segala.
Nafas saya semakin sukar sangat didapatkan. Semakin hilang.Iya,semakinhilang .Hilangentahkemana.Sesekali ada dan sesekali tidak ada. Sesekali ada dan sesekali hilang terbang melayang. Sesekali datang dan sesekali menghilang dan akhirnya saya hilang ingatan dan ubat bius rupanya menjalar ke mana-mana. Menjalar ke otak saya, menjalar ke jantung saya, menjalar ke mata saya dan sesudah itu saya merasakan sangat bahawa saya sudah berada di pangkuan malaikat Izrail yang entah mahu ke mana saya dibawanya segala.
Selamat tinggal kakak, selamat tinggal duhai kedua-dua putera saya. Selamat tinggal Dr. Hilmi yang baik. Selamat tinggal Siah yang berbudi dan semuanya akan menjadi teman baik seumur hidup saya dan saya tidak akan lupa sebab saya bukanlah orangnya yang tidak mengenang budi langsung seperti orang lain.
 Terima kasih segalanya dan rasanya kalian tidak usah ragu dan khuatir sangat bahawa saya akan terus memperjuangkan hidup saya seperti yang diinginkan oleh Putri dan kawan-kawan terdekat. S aya akan memohon terus kepada Tuhan supaya nyawa saya tidak usah diambil atau segera membatalkan untuk mencopot nyawa saya yang satu-satunya ini.
Saya sebenarnya mahu ke luar daerah. Jauh mengembara. Mengembara di daerah yang terakhir dikunjungi. Saya mahu pindah. Pindah ke suatu daerah yang nantinya semua orang bakal ke sana. Iya, saya mahu pindah ke mana saja/asal tidak di tempat sekarang ini.
Saya mahu berjalan ke mana-mana saja. Saya mahu menikmati udara yang dingin. Saya mahu merasakan tiupan angin senja yang lembut dan menyenangkan saya. Saya mahu menyusuri pinggir pantai sambil berjalan melihat matahari senja yang terbenam lewat di sebalik perbukitan dan sekaligus melihat cahaya kemerah-merahan yang selalu saja berlari di permukaan ombak kala senja tiba.
Kamu tahu Putri bahawa sebenarnya saya kepingin sangat mahu berpergian bersama kamu melihat pantai, melihat kerikil-kerikil tajam, melihat ombak yang bermain di gigian pantai dan menikmati angin senja dan kemudian memutuskan untuk tidak mengizinkan perpisahan ada dalam diari kehidupan kita yang sisa.
Waktu yang kita lewati telah memberikan kesan kepada diri kita. Iya, memang saya mahu pergi bersama Putri sebab Putri adalah sama seperti matahari yang terbit di ufuk timur kala pagi menjelma dan tentunya kehadiran Putri membawa sinar yang sama sekali berbeda dalam hidup saya yang terlalu banyak sia-sianya.

Ah, mana mungkin ini bisa terjadi kala kita berada dalam dunia yang berbeda. Maafkan saya Putri. Saya sesungguhnya tidak terdaya melawan takdir yang ditentukan. Takdir yang ditentukan oleh Yang Maha Berkuasa. Maafkan saya Putri. Iya, maafkan saya. Maafkan saya. Saya mohon sangat. Mohon. Saya memangnya tidak terdaya. Saya lemah dan terlalu lemah. Benar-benar Lemah. Amat lemah sekali. Iya lemah sekali. Di mana saya sekarang ini? Di mana iya? Entahlah.

Lukisan Cerita Kelabu

LUKISAN CERITA KELABU
Oleh Ilmi Solehati

Kubuka daun jendela lebar-lebar, dari sini segala pemandangan dapat terlihat dengan jelas. Lihat burung-burung itu, hinggap di dahan pohon malang. Ya, malang. Karena setiap hari angin selalu menggugurkan daun-daunnya yang sudah mulai menguning, kini yang tinggal hanya ranting-ranting rapuhnya saja, aku yakin usianya sudah mencapai seabad.  Beruntung tak ada tangan jahil yang menebangnya dan menjadikannya suluh1 bakar. Alangkah indahnya menjadi burung, sepagi ini sudah berpayungkan mentari. Lihat di timur sana bola kuning raksasa itu sedang naik, perlahan. Kurasa ia datang lebih awal dari biasanya. Dan embun menjadi kering karenanya. Lihat mawar itu, terlihat begitu segar pagi ini. Menari-nari dalam terpaan angin yang lembut. Langit begitu bersih tak berawan. Dan burung-burung terbang mengitarinya, semakin tinggi hingga menjadi titik hitam dan menghilang dari pandangan. Dan aku sudah sangat tahu jam dinding di kamarku sudah menunjuk angka tujuh kurang lima belas menit. Aku menghirup nafas dalam-dalam, menelan oksigen untuk paru-paruku. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Teh2 Amanda masuk mengganggu lamunan.
“Kau tidak sekolah lagi?” sorot matanya tajam mengarah padaku. Aku menggeleng malas.
“Lucu sekali, ayoh mandi!” bentaknya padaku seraya membanting pintu.
Mendengar itu aku segera melompat ke kamar mandi. Kemudian cepat-cepat berbaju, tak bermake-up. Rambut kukuncir satu. Kuraih kerudung yang menggantung di balik pintu. Secepat kilat aku meraih sepatu di bawah ranjang tidur, kemudian bersepatu. Tak ada sarapan di meja makan, aku segera menghampiri Teteh yang sudah hampir sepuluh menit menungguku. Teteh tak bicara, ia segera berdiri dan merapikan baju. Kupikir Teteh benar-benar marah padaku. Walau begitu, Teteh tetap mengantarku ke sekolah. Sialnya, waktu terasa cepat bergulir. Jam menunjukan pukul tujuh. Aku belum lagi sampai di sekolah, sudah pasti kesiangan.
“Sedari dulu kau memang sudah manja dan lelet” tegasnya padaku.
*
Pukul tujuh lewat dua menit, bel masuk sudah berdering dua menit yang lalu. Beruntung gerbang belum sepenuhnya ditutup dan satpam masih memperbolehkanku masuk. Juga kelasku tidak begitu jauh, cukup berjalan pelan dan tak perlu lari. Hari ini Rabu. Seingatku, tak ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan, juga tak ada ulangan. Aku berjalan santai seolah tidak terlambat, bahkan sempat kupetik dulu bunga mawar di taman sekolah. Mencium wangi mawar akan membuatku lebih tenang. Aku begitu suka dengan mawar. Sederet kelas perkantoran kulalui, masih terdengar ramai jeritan anak perempuan, tandanya belum ada guru masuk, dan kelasku ada diujung. Kuperlambat langkah setelah kudapati kelas begitu hening seperti tak berpenghuni. Aneh, biasanya kelas selalu ramai seperti Bojong meron3. Sejak kapan menjadi tertib begini? Mengintip dari jendela menjadi satu-satunya cara untuk memastikan keadaan di dalam baik-baik saja. Betapa terkejutnya aku, setelah tahu apa yang terjadi di dalam. Bodoh. Aku telah melupakan hal yang sangat penting hari ini. Karenanya aku menjadi ragu untuk masuk kelas. Aku mendadak panik, kuhirup lagi bunga mawar yang kupegang. Aku mematung, tak menghasilkan sesuatu. Kini hanya ada dua pilihan, tetap masuk atau kabur ke kantin. Gila, dua-duanya pilihan gila. Keadaan itu telah membuatku tak dapat berfikir jernih. Tanpa kusadari, kaki melangkah meninggalkan kelas. Membawaku ke pilihan kedua. Mawar masih ditangan, sudah sedikit layu. Tak ada kulihat  siswa berkeliaran kecuali beberapa anak yang sedang praktek di kantin. Aku duduk di meja selatan, meja paling ujung. Kemudian memesan makanan untuk sarapan. Seandainya cermin yang kubawa dapat berbicara, mungkin dia akan mengatakan betapa polosnya wajahku saat itu. Disaat orang lain sedang kebingungan ulangan produktif, aku sendiri malah enak-enakan sarapan di kantin. Sungguh, aku benci ini. Aku benci pilihan yang kubuat. Ah, seandainya aku tidak sekolah.
Tidak sampai lima menit, pesananku sudah tersaji di depan mata. Sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi diatasnya dan air teh hangat. Aku tidak memakannya, hanya mengaduk-aduk malas. Dan mawar itu tergeletak tak berdaya di atas meja. Pikiranku melayang-layang tak menentu. Aku rasakan setiap butir nasi goreng dihadapanku seperti soal-soal ulangan produktif, sangat banyak dan membuat bingung. Dan air teh hangat itu seperti pencair suasana alias contekan. Bayangkan, ketika harus menghadapi soal yang segudang, dan mencontek adalah cara terbaik sepanjang sejarah. Ah, suram. Segera kubuang jauh-jauh pikiran keruh itu setelah kudengar seseorang memanggil namaku berkali-kali. Aku bangkit berdiri dan mencari sumber suara. Oh Yasmin, sahabatku. Ia melambaikan tangan padaku, sangat lemah. Senyumnya pucat, tatapannya dingin. Aku dapat mengira, penyakitnya sedang kambuh.
“Kau sedang apa? Kebiasaan ya, makan di kantin saat ulangan.” tegurnya datar.
“Aku belum sarapan, tidak akan konsentrasi nanti ulangannya kalau perut kosong.” kataku mengada-ada. Yasmin mengerucutkan bibirnya, kemudian duduk disamping kiriku.
“Kau baik-baik saja bukan?” tanyaku kemudian.
“Lambungku sakit, tadi tidak sempat sarapan.”
“Kau boleh makan nasi gorengku, aku belum ingin makan.”
*
“Yang kutahu matematika itu hanya angka nol sampai sembilan. Ada penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Sederhana dan tak ada yang perlu dipersulit. Jadi kapan kau akan berhenti membenci matematika?”
Lihat, asap mengepul dari kepala. Bukan karena mentari yang begitu terik, dan kaca-kaca jendela yang memantulkan panas luar biasa. Bukan juga karena pohon-pohon yang mati terbakar mentari, dan air mancur di taman sekolah yang tidak lagi menyegarkan. Tetapi ma-te-ma-ti-ka. Satu pelajaran yang paling sedikit penggemarnya. Siapa yang tak kenal? Sungguh, aku sudah mengenalnya sejak kelas satu SD. Tapi, hingga saat ini aku belum lagi jatuh cinta padanya. Entah mengapa, aku sendiri tak tahu pasti.
Oh, lihat papan tulis itu telah penuh dengan rumus-rumus. Dan aku tak tahu rumus apa, sedari tadi aku tidak memperhatikan. Hanya ada satu-dua yang benar-benar memperhatikan dan memahami, ada juga yang memperhatikan tetapi tidak paham, dan selebihnya tidak memperhatikan dan tidak paham. Di ujung sana, Kuntum sedang mendengarkan lagu yang diputar dalam headsetnya. Ada juga yang sibuk memainkan ponsel dan laptopnya. Dan lihat, mereka sedang serius mengobrol, dan di belakangnya Hana sedang asyik bermimpi.
“Sekarang silahkan kumpulkan PR minggu lalu.” perintahnya tiba-tiba.
Dan lihat mereka seperti tersihir, semua menghentikan kesibukannya. Hana bangun dengan malas. Kuntum segera melepas headsetnya, kemudian memeriksa buku  tugasnya dan ia tersenyum ketika mengetahui tugasnya sudah dikerjakan. Dengan bangga ia membawa bukunya ke depan. Satu persatu siswa mengumpulkan bukunya, sekejap meja guru sudah penuh dengan tumpukan buku. Hanya aku yang tidak mengumpulkan.
Celaka. Seingatku, aku belum menyiapkan buku pelajaran untuk hari ini. Tadi malam aku terlalu sibuk menghitung bintang dan tadi pagi aku tak sempat. Mataku membelalak, hatiku kembali memberontak. Aku mengacak-acak tas sekolahku. Bukan, bukan sedang mencari buku matematika, tapi mencari mawar. Sial, tak ada mawar kutemukan. Hei lihat, guru itu sedang mematung dihadapanku, bertolak pinggang. Dan aku tersenyum manis, manis sekali.
“Eh ibu, anu bu, buku saya ketinggalan.” kataku berbohong.
“Bagus ya? Sebagai hukumannya, kerjakan soal di depan!” sentaknya tepat di depan mukaku.
*
“Mengapa orang-orang begitu takut dengan hujan? Padahal ia yang menyegarkan kembali bunga-bunga, yang mencuci debu-debu jalanan, dan membuang keringat di dahimu. Mengapa takut hujan?”
Hujan menemani perjalanan pulangku. Menemani segala cerita pahitku hari ini, dan segala kebodohan yang telah kulakukan. Aku berjalan dalam hujan yang semakin deras. Tidak, bukan karena aku ingin  menyembunyikan airmata dalam hujan. Aku hanya ingin menghanyutkan segala cerita pahitku bersama hujan.
Lihat, kilatan cahaya seperti membelah langit. Guntur dan kilat bergantian menghiasi hati yang gulita. Dan spanduk-spanduk usang masih saja terpasang disana-sini. Warnanya telah pudar dimakan usia. Benar-benar merusak pemandangan. Ah, tiba-tiba aku menjadi pemarah. Marah pada diriku sendiri. Yang tidak bisa meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk. Yang tidak menghargai waktu. Yang selalu malas sekolah. Yang tidak pandai bersyukur. Kurasa, apa yang dikatakan Yasmin selepas istirahat tadi benar, aku harus berubah…

1Kayu bakar
2Sebutan untuk kakak perempuan dalam bahasa Sunda

3Pasar Tradisional di kota Cianjur

Selasa, 22 April 2014

Penjual Koran

Ini adalah cerpen saya yang belum terselesaikan

Sepeda tua bersama sisa hujan semalam berbelok ke jalan Godean, menuju Tambak Mas. Lima menit saja tiba ditempat tujuan, rumah bercat cokelat emas milik seorang pengusaha batubara terbesar se-Indonesia, Pak Dahlan. 
"Ah kau rajin sekali nak!"
Dibukanya gerbang yang masih basah itu. Brata, lelaki kurus berambut pirang tersenyum ramah padanya. "Mungkin ini terlalu pagi ya tuan?" lantas tertawa. Kemudian disodorkannya koran Tribun Jogja. Koran yang baru terbit sejak April lalu, tebalnya 24 halaman. Dahlan duduk di kursi anyam rotan alam, membaca koran sambil sesekali diseruputnya kopi panas.
"Buru-buru sekali, hendak kemana?" tanyanya ketika melihat Brata sibuk memarkir sepedanya keluar. "kemana lagi" jawabnya singkat diiringi tawa ringan. Hujan masih rintik, langit mendung. Tak ada matahari. Sepertinya awan masih ingin menyelimuti bola raksasa itu di langit Yogya. Padahal sudah pukul 06.30. Sepeda Brata melesat dari Godean ke gang Bromo. Sepi. Hujan membuat gang itu sepi seketika.

***

Selamat pagi April, semoga tetap menjadi bulan ke-4 ya! 
Hari ini Senin, musim hujan di bumi pertiwi. Langit April mendung pagi itu. Tak ada matahari di kota Yogya. Dingin. Sisa hujan semalam mebuat kota itu mati seketika. 

Mbok Yum sibuk mengelap meja makan dari sudut ke sudut, menyiapakan roti dan susu. Ibu sibuk mengolesi roti dengan selai dan ayah siap menyantapnya. Aku berlari menghampiri mereka, mengambil roti dan meneguk susu. Lantas berpamitan. Tanpa kusadari, ibu dan ayah bengong melihat kelakuanku. Apalah yang aneh dariku, aku tak peduli. Aku berlari lagi, masuk mobil. 
"Berangkat pak! Ngebut ya!"  Mang Parman mengangguk tanda mengerti. Aku sibuk merapikan seragam sambil menguyah roti lalu menelannya cepat-cepat. Mang Parman menyeringai aneh padaku melirik ke kaca di atas kepalanya. 

TUHAN MAHA TAHU TAPI MENUNGGU

Sebuah cerpen karya Leo Tolstoy

Di kota Vladimir hiduplah seorang saudagar muda yang bernama Ivan Dimitrich Aksionov. Ia memiliki sebuah rumah dan dua buah toko.

Aksionov adalah seorang pria tampan berambut pirang keriting, penuh canda dan gemar menyanyi. Ketika masih sangat muda ia suka minum-minum dan bikin ribut kalau mabuk. Tapi setelah menikah ia pun berhenti minum, kecuali sesekali saja.

Pada suatu musim panas Aksionov akan berangkat ke Pasar Malam Nizhny, dan ketika berpamitan dengan keluarganya, istri­nya berkata, “Ivan Dimitrich, jangan berangkat hari ini. Aku telah bermimpi buruk tentangmu.”

Aksionov tertawa dan menyahut, “Kau khawatir kalau sesampainya di sana nanti, aku akan berfoya-foya.”

Istrinya menjawab, “Aku tak tahu apa yang kukhawatirkan, yang kutahu hanyalah bahwa aku telah bermimpi buruk. Dalam mimpi itu kulihat setelah kau pulang dari kota dan membuka topi, seluruh rambutmu telah ubanan.”

Aksionov tertawa. “Itu pertanda baik,” ujarnya. “Lihat kalau sampai aku tidak menjual habis semua barang-barangku, dan membawakanmu oleh-oleh dari sana.”

Maka ia pun berpamitan kepada keluarganya dan berangkat dengan kereta kudanya.

Ketika baru setengah perjalanan ia berjumpa dengan seorang saudagar kenalannya, dan mereka pun menginap di losmen yang sama malam itu. Mereka menikmati teh bersama dan setelah itu menuju ke tempat tidur di ruang yang bersebelahan.

Bukanlah kebiasaan Aksionov untuk tidur sampai larut, dan karena ingin berangkat ketika hari masih dingin, ia membangunkan kusirnya sebelum fajar dan menyuruhnya menyiapkan kuda. Kemudian ia pergi ke tempat pemilik losmen yang tinggal di sebuah pondok di belakang, membayar sewanya dan melanjutkan perjalanan.

Setelah berjalan kira-kira sejauh dua puluh lima mil, ia menyuruh berhenti untuk memberi makan kuda. Aksionov beristirahat sejenak di gang losmen, lalu ia beranjak ke serambi depan dan sambil menyuruh untuk memanaskan samovar, ia pun mengeluarkan gitarnya dan mulai memainkannya.

Tiba-tiba sebuah troika mendekat dengan bunyi lonceng yang bergemerincing, seorang perwira turun diikuti oleh dua orang prajurit. Ia mendatangi Aksionov dan mulai menanyainya, tentang siapa dia dan kapan dia datang. Aksionov menjawab semua pertanyaannya, dan berkata,”Bersediakah Anda minum teh bersama saya?” Tapi sang perwira tetap meneruskan menanyainya.

“Di mana Anda menginap tadi malam? Apakah Anda sendirian ataukah bersama seorang saudagar yang lain? Apakah Anda berjumpa dengan seorang saudagar yang lain pagi ini? Kenapa Anda tinggalkan losmen itu sebelum fajar?”

Aksionov heran kenapa ia ditanyai dengan semua pertanyaan itu, namun ia pun menceritakan juga semua yang telah dialaminya, lalu menambahkan, “Kenapa Anda menanyai saya berulang-ulang begitu seakan-akan saya ini seorang pencuri atau perampok saja? Saya sedang dalam perjalanan bisnis, dan tidak perlu menginterogasi seperti itu.”

Kemudian sang perwira sambil memanggil para prajurit berkata, “Saya adalah perwira polisi di distrik ini, dan saya menanyai Anda karena saudagar yang menginap bersama Anda semalam telah ditemukan dalam keadaan tewas dengan leher tergorok. Kami harus memeriksa barang-barang Anda.”

Mereka pun memasuki rumah. Para prajurit dan perwira polisi tadi membuka kopor-kopor Aksionov dan menggeledahnya. Tiba-tiba sang perwira menarik sebilah pisau dari sebuah tas sambil berseru, “Pisau siapa ini?” Aksionov yang melihat sebilah pisau bernoda darah ditarik dari tasnya menjadi takut.

“Bagaimana ada darah di pisau ini?”

Aksionov berusaha menjawab namun dengan susah payah hanya mampu berucap dengan terbata-bata:

“Aku ti..dak ta..hu. Bu..kan mi..likku.”

Kemudian sang perwira polisi berkata, “Pagi ini saudagar itu ditemukan di atas ranjang dengan leher tergorok. Andalah satu-satunya orang yang dapat melakukannya. Rumah itu dikunci dari dalam dan tak ada orang lain di sana. Pisau bernoda darah ini berada di dalam tas Anda, lagi pula sudah jelas kelihatan dari wajah dan sikap Anda! Katakan bagaimana Anda membunuhnya, dan berapa banyak uang yang Anda curi?”

Aksionov bersumpah bahwa dirinya tidak melakukan hal itu. Dia tidak berjumpa lagi dengan saudagar itu sejak mereka usai minum teh bersama, dia tidak punya uang selain delapan ribu rubel miliknya sendiri, dan bahwa pisau itu bukan milik­nya. Tapi suaranya pecah, wajahnya pucat, dan dia pun gemetar ketakutan seakan-akan memang bersalah.

Sang perwira polisi memerintahkan anak buahnya untuk mengikat Aksionov dan memasukkannya ke dalam kereta. Ketika mereka mengikat kedua kakinya jadi satu dan menghempaskannya ke dalam kereta, Aksionov berdoa dengan membuat isyarat tanda salib dengan tangannya dan menangis. Uang dan barang-barangnya disita, ia dikirim ke kota terdekat dan ditahan di sana. Penyelidikan tentang diri­nya dilakukan di Vladimir. Para saudagar dan penduduk lain di kota itu mengatakan bahwa dulunya ia memang suka minum-minum dan membuang-buang waktu percuma, namun dia adalah orang baik. Kemudian sidang pengadilan pun digelar: ia dituduh telah membunuh seorang saudagar dari Ryazan dan merampoknya sebanyak dua puluh ribu rubel.

Istrinya putus asa dan tidak tahu apa berita ini yang harus dipercaya. Anak-anaknya masih kecil, yang seorang malah masih menyusu. Sambil membawa mereka semua, ia berangkat ke kota di mana suaminya ditahan. Mulanya ia tidak diijinkan menjumpai suaminya, namun setelah memohon dengan amat sangat, iapun mendapatkan ijin dari para pejabat dan diantar menemui suaminya. Ketika melihat suaminya memakai seragam tahanan dan dirantai, dikurung bersama para pencuri dan penjahat —wanitu itu pun jatuh pingsan dan tidak sadar-sadar sampai beberapa lama. Setelah siuman ia menarik anak-anaknya ke dirinya dan duduk di samping suaminya. Diceritakannya tentang keadaan di rumah, dan menanyakan apa yang menimpa suaminya. Pria itu pun menceritakan semuanya.

Lalu sang istri bertanya, “Apa yang dapat kita perbuat sekarang?”

“Kita harus mengajukan permohonan kepada Tsar agar tidak membiarkan orang yang tidak bersalah binasa.”

Istrinya mengatakan bahwa ia telah mengajukan permohonan itu kepada Tsar, tapi tidak dikabulkan. Aksionov tidak menjawab namun hanya tampak putus asa.

Kemudian istrinya berkata, “Ternyata bukan tak ada artinya aku dulu bermimpi rambutmu ubanan. Masih ingatkah? Seharusnya kau tidak berangkat pada hari itu”. Dan sambil membelai rambut suaminya iapun berkata, “Vanya, sayang, katakanlah yang sejujurnya kepada istrimu ini. Apakah memang bukan kau yang melakukannya?”

“Jadi kaupun mencurigaiku!” sahut Aksionov, dan sambil membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan, ia pun menangis. Lalu datanglah seorang prajurit yang mengatakan bahwa sang istri dan anak-anaknya harus pergi. Aksionov pun mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya untuk yang terakhir kali.

Ketika mereka telah pergi, Aksionov mengingat-ingat percakapan tadi, dan ketika terkenang bahwa istrinya pun ikut mencurigainya, ia berkata pada dirinya, “Tampaknya hanya Tuhan saja yang tahu kebenaran ini, hanya kepada-Nya kita berdoa dan minta ampun.”

Dan Aksionov pun tidak lagi mengajukan petisi dan berharap banyak, ia hanya berdoa kepada Tuhan.

Aksionov dijatuhi hukuman cambuk dan dikirim ke pertambangan. Ia pun dicambuk dengan cemeti, dan setelah luka-luka cambukan itu sembuh, ia dibawa ke Siberia bersama para pekerja paksa lainnya.

Selama dua puluh enam tahun Aksionov hidup sebagai seorang pekerja paksa di Siberia. Rambutnya berubah menjadi seputih salju, janggutnya pun tumbuh panjang, tipis, berwarna abu-abu. Semua keceriaannya punah, ia selalu menunduk, berjalan perlahan, sedikit bicara, dan tak pernah tertawa, namun sering berdoa.

Di dalam penjara Aksionov belajar membuat sepatu boot, dan memperoleh sedikit uang yang dibelikannya buku Kehidupan Orang-Orang Saleh. Ia membaca buku itu ketika terdapat cukup cahaya di dalam penjara. Dan setiap hari Ahad di dalam gereja penjara ia membaca pelajaran-pelajaran serta ikut menyanyi dalam paduan suara karena suaranya masih bagus.

Para pejabat penjara menyukai Aksionov karena kepatuhannya, dan teman-teman sesama napi pun menghormatinya. Mereka menjulukinya dengan sebutan “Kakek” dan “Orang Saleh”. Kalau mereka ingin mengajukan permohonan kepada para pejabat penjara tentang hal apa saja, mereka selalu mengangkat Aksionov sebagai juru bicaranya. Dan manakala terjadi keributan di antara sesama napi, mereka datang kepadanya untuk memutuskan perkara yang benar.

Tak ada berita yang sampai kepada Aksionov dari rumahnya, bahkan ia pun tak tahu apakah istri dan anak-anaknya masih hidup.

Suatu hari sekelompok tahanan kerja paksa baru didatangkan ke penjara. Sorenya, para napi lama mengerumuni rekan-rekannya yang baru itu dan menanyai mereka: dari kota atau desa mana saja mereka berasal dan dihukum karena perbuatan apa. Di tengah-tengah istirahat, Aksionov duduk di dekat para pendatang baru itu dan ikut mendengarkan dengan roman muka putus asa atas apa yang diucapkan.

Salah seorang di antara pekerja paksa baru itu adalah seorang pria berumur enam puluh tahunan berperawakan tinggi kekar dan berjenggot lebat terpangkas rapi, ia sedang bercerita kepada yang lainnya kenapa dirinya ditahan.

“Baiklah, teman-teman,” ujarnya, “aku hanya mengambil seekor kuda yang sedang diikat di pengeretan. Lalu aku ditahan dan dituduh atas pencurian. Telah kukatakan bahwa aku mengambilnya supaya bisa cepat pulang ke rumah, kemudian melepasnya pergi. Lagi pula, pengendaranya adalah temanku sendiri. Dengan demikian aku bilang, ‘Itu tidak apa-apa’. Tapi mereka mengatakan, ‘Tidak. Kau telah mencurinya’. Tapi bagaimana dan kapan aku mencurinya mereka tak dapat menunjukkannya. Dulu, pernah sekali aku memang sungguh-sungguh berbuat salah, dan seharusnya berdasar hukum sudah berada di sini sejak lama, tapi ketika itu aku tidak tertangkap. Kini aku dikirim kemari tanpa alasan sama sekali…. Eh, tapi itu cuma bohong yang kuceritakan kepada kalian. Aku pernah ke Siberia sebelumnya namun tidak tinggal lama.”

“Dari mana asalmu?” tanya seseorang.

“Dari Vladimir. Keluargaku berasal dari kota itu. Namaku Makar, dan mereka juga memanggilku Semyonich.”

Aksionov mengangkat kepalanya dan berkata, “Katakan padaku, Semyonich, apakah kau tahu sesuatu tentang keluarga saudagar Aksionov dari Vladimir? Apakah mereka masih hidup?”

“Tahu tentang mereka? Tentu saja. Keluarga Aksionov kaya, meskipun ayah mereka berada di Siberia, tampaknya seorang pendosa juga seperti kita! Lalu bagaimana dengan Anda sendiri, Kek? Bagaimana Anda bisa sampai di tempat ini?”

Aksionov tidak ingin menceritakan kemalangannya. Ia hanya mendesah dan berkata, “Karena dosa-dosaku maka aku berada di dalam penjara selama dua puluh enam tahun ini.”

“Dosa-dosa apa?” tanya Makar Semyonich.

Namun Aksionov hanya berkata, “Yah… aku memang layak mendapatkannya!”

Ia tak ingin berkata lebih banyak, namun teman-temannya memberitahukan kepada para pendatang baru itu bagaimana Aksionov bisa sampai ke Siberia. Bagaimana seseorang telah membunuh seorang saudagar, lalu menyelipkan pisaunya ke dalam barang-barang Aksionov, dan Aksionov pun secara tidak adil telah dijatuhi hukuman.

Ketika Makar Semyonich mendengar semua ini, ia memandangi Aksionov, dan berseru sambil menepuk-nepuk lututnya sendiri, “Wow, sungguh luar biasa! Sangat luar biasa! Tapi betapa cepatnya kau menjadi tua, Kek!”

Yang lainnya pun menanyainya kenapa ia begitu terkejut, dan di manakah ia pernah melihat Aksionov sebelumnya, namun Makar Semyonich tidak memberikan jawaban. Ia hanya berkata, “Ini luar biasa bahwa kita akan bertemu di sini, hai budak-budak!”

Kata-kata ini membuat Aksionov bertanya-tanya apakah pria ini tahu siapa sesungguhnya yang dulu membunuh sang saudagar, maka ia pun berkata, “Semyonich, barangkali kau pernah mendengar kejadian itu, atau mungkin kau pernah melihatku sebelum ini?”

“Apakah aku pernah mendengarnya? Dunia ini penuh dengan desas-desus. Tapi peristiwa itu sudah lama sekali dulu, dan aku telah lupa apa yang kudengar.”

“Barangkali kau pernah mendengar siapa yang membunuh saudagar itu?” tanya Aksionov.

Makar Semyonich tertawa dan menjawab, “Dia itu pastilah orang yang di dalam tasnya ditemukan pisau tersebut! Kalaulah  ada orang lain yang meletakkannya di sana, maka ada ungkapan: ‘Dia bukan pencuri sampai tertangkap’, bagaimana ada orang yang bisa meletakkan sebilah pisau di dalam tasmu yang berada di bawah kepalamu? Pastilah akan membuatmu terbangun.”

Ketika Aksionov mendengar kata-kata ini, ia merasa yakin bahwa orang inilah yang telah membunuh saudagar itu. Ia pun bangkit dan pergi. Sepanjang malam itu Aksionov terbaring dalam keadaan jaga. Dia merasa sangat sedih, dan berbagai bayangan muncul di benaknya. Ada bayangan istrinya saat ia meninggalkannya untuk pergi ke pasar malam. Dia melihat wanita itu seakan-akan hadir: wajah dan matanya muncul di hadapannya, ia mendengar bicara dan tawanya. Lalu ia melihat anak-anaknya, masih kecil-kecil ketika itu, yang seorang mengenakan mantel mungil sedangkan yang satunya lagi masih menyusu di dada ibunya.

Lalu ia pun mengenang dirinya sendiri kala itu: muda dan ceria. Ia ingat ketika duduk bermain gitar di beranda losmen itu, di mana dirinya ditangkap. Betapa dulu ia tak pernah merasa susah.

Di benaknya ia melihat tempat di mana dirinya dicambuk, sang algojo, orang-orang yang berdiri di sekelilingnya, ran­tai-rantai itu, para pekerja paksa, semua dua puluh enam tahun kehidupannya di penjara, dan usia tuanya yang prematur. Mengenang semua itu membuatnya sangat sedih hingga ingin rasanya bunuh diri.

“Dan semua ini karena perbuatan bajingan itu!” batinnya. Dan kemarahannya sangat besar kepada Makar Semyonich sehingga ia ingin sekali melakukan balas dendam, walaupun dirinya sendiri harus hancur karenanya. Ia terus mengulang-ulang doa sepanjang malam itu, namum tetap tidak bisa merasa tentram. Selama siang harinya ia tidak mau berada di dekat Makar Semyonich, atau pun melihat ke arahnya.

Dua pekan berlalu seperti itu. Aksionov tak dapat tidur tiap malamnya, dan begitu menderita sehingga tak tahu apa yang harus dikerjakan.

Suatu malam ketika sedang berjalan-jalan di sekitar penjara ia melihat seonggok tanah terlempar keluar dari bawah salah satu dipan bersusun tempat tidur para napi. Ia pun berhenti untuk mengamati apakah itu gerangan. Tiba-tiba Makar Semyonich merangkak keluar dari bawah dipan tadi dan memandang ke atas kepada Aksionov dengan ketakutan. Aksionov berusaha berlalu tanpa memandang ke arahnya, tapi Makar Semyonich mencengkeram lengannya dan mengatakan kepadanya bahwa ia telah menggali sebuah lubang di bawah dinding, membuang tanahnya dengan cara memasukkannya ke dalam sepatu bootnya yang tinggi, lalu membuangnya setiap hari ke jalan ketika para napi sedang digiring untuk bekerja.

“Pokoknya kau diam saja, Pak Tua. Dan kau pun akan ikut keluar juga. Kalau kau sampai berkicau maka mereka akan mencambukku sampai mati, tapi sebelum itu aku akan membunuhmu lebih dulu.”

Aksionov bergetar marah ketika memandang musuhnya. Ia merenggutkan tangannya seraya berkata, “Aku tak ingin meloloskan diri. Dan kau pun tak perlu membunuhku, kau telah membunuhku sejak lama! Tentang melaporkan perbuatanmu ini, aku boleh melakukannya atau tidak, Tuhanlah yang memberi petunjuk.”

Pada hari berikutnya ketika para napi digiring ke pekerjaan mereka, patroli tentara melihat salah seorang napi sedang membuang tanah dari sepatu bootnya. Penjara tersebut digeledah dan terowongan itu pun ditemukan. Sang gubernur datang dan menanyai semua napi untuk mencari tahu siapa yang telah menggali lubang itu. Mereka semua menyangkal mengetahui hal tersebut. Orang-orang yang tahu pun tidak mau mengkhianati Makar Semyonich, karena tahu bahwa ia akan dicambuk sampai hampir mati.

Akhirnya sang gubernur berpaling kepada Aksionov yang diketahuinya sebagai seorang yang jujur, dan berkata, “Kau adalah seorang tua yang bisa dipercaya, katakan padaku, di depan Tuhan, siapa yang telah menggali lubang itu?”

Makar Semyonich berdiri dengan lagak seakan-akan tidak begitu peduli, dia memandang kepada sang gubernur dan hanya melihat sekilas ke arah Aksionov. Bibir dan tangan Aksionov bergetar, dan untuk beberapa lama ia tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Ia membatin, “Mengapa aku harus melindungi orang yang telah menghancurkan hidupku? Biar dia membayar apa yang telah kuderita ini. Tapi bila aku bicara, mereka mungkin akan mencambuknya sampai mati, dan barangkali kecurigaanku ini bisa saja salah. Lagipula, apa untungnya bagiku?”

“Baiklah, Pak Tua,” ulang sang gubernur, “katakan padaku yang sejujurnya: siapa yang telah menggali di bawah tembok itu?”

Aksionov melihat sekilas ke arah Makar Semyonich, dan berkata, “Aku tak dapat mengatakannya, Tuan. Bukanlah kehendak Tuhan agar aku mengatakannya! Lakukan saja apa yang Anda inginkan atas diriku ini, aku berada di tangan Anda.”

Bagaimanapun sang gubernur telah berusaha, Aksionov tidak mau berkata lebih banyak lagi, dan perkara itupun akhirnya dianggap selesai.

Malamnya ketika Aksionov berbaring di dipannya dan mulai terlelap, seseorang mendatanginya secara diam-diam dan duduk di atas dipannya. Ia pun memandang dengan tajam menembus kegelapan dan mengenali Makar Semyonich.

“Apa lagi yang kamu inginkan dariku?” tanya Aksionov. “Kenapa kamu datang ke sini?”

Makar Semyonich diam.

Maka Aksionov pun duduk dan berkata, “Apa maumu? Pergilah, atau akan aku panggilkan penjaga!” Makar Semyonich membungkuk ke dekat Aksionov lalu berbi­sik, “Ivan Dimitrich, maafkan aku….”

“Untuk apa?” tanya Aksionov.

“Akulah sebenarnya yang dulu membunuh saudagar itu dan menyembunyikan pisaunya di dalam barang-barangmu. Aku sebetulnya bermaksud membunuhmu juga, namun kudengar ada ribut-ribut di luar, maka kusembunyikan pisau itu ke dalam tasmu dan melarikan diri lewat jendela.”

Aksionov terdiam, dan tak tahu apa yang harus dikatakannya. Makar Semyonich beringsut dari dipan itu dan berlutut di atas tanah.

“Ivan Dimitrich,” katanya memohon, “maafkanlah aku. Demi kasih Tuhan, maafkanlah aku. Aku akan mengaku bahwa akulah yang telah membunuh saudagar itu, dan kaupun akan dibebaskan dan bisa pulang ke rumahmu.”

“Mudah saja bagimu bicara begitu,” ujar Aksionov, “tapi aku telah menderita karena ulahmu selama dua puluh enam tahun ini. Ke mana lagi aku hendak pergi sekarang? Istriku sudah meninggal, dan anak-anakku pun sudah tak ingat lagi kepadaku. Aku tak bisa pergi ke mana-mana lagi…”

Makar Semyonich tidak bangkit, tapi justru membentur-benturkan kepalanya ke lantai. “Ivan Dimitrich, maafkan aku!” tangisnya. “Ketika mereka mencambukku dengan cemeti dulu, tidaklah seberapa berat menanggungnya dibandingkan melihatmu seperti saat ini. Bahkan kaupun telah mengasihaniku, dengan tidak mengatakannya kepada mereka siang tadi. Demi Kristus, ampuni aku, aku memang brengsek!” Dan ia pun terisak-isak. Ketika Aksionov mendengarnya menangis terisak-isak begitu, ia pun ikut menangis. “Tuhan akan mengampunimu,” katanya. “Mungkin aku seratus kali lebih buruk daripadamu.”

Dan dengan kata-kata ini hatinyapun terasa ringan dan terang, kerinduan kepada rumah pun hilang. Ia tak ada keinginan lagi meninggalkan penjara itu, namun hanya mengharap agar saat-saat terakhirnya segera tiba.

Terlepas dari apa yang telah dikatakan Aksionov, Makar Semyonich tetap mengakui kesalahannya. Tapi ketika perintah pembebasan atas dirinya dikeluarkan, Aksionov baru saja wafat.