Selasa, 22 April 2014

Penjual Koran

Ini adalah cerpen saya yang belum terselesaikan

Sepeda tua bersama sisa hujan semalam berbelok ke jalan Godean, menuju Tambak Mas. Lima menit saja tiba ditempat tujuan, rumah bercat cokelat emas milik seorang pengusaha batubara terbesar se-Indonesia, Pak Dahlan. 
"Ah kau rajin sekali nak!"
Dibukanya gerbang yang masih basah itu. Brata, lelaki kurus berambut pirang tersenyum ramah padanya. "Mungkin ini terlalu pagi ya tuan?" lantas tertawa. Kemudian disodorkannya koran Tribun Jogja. Koran yang baru terbit sejak April lalu, tebalnya 24 halaman. Dahlan duduk di kursi anyam rotan alam, membaca koran sambil sesekali diseruputnya kopi panas.
"Buru-buru sekali, hendak kemana?" tanyanya ketika melihat Brata sibuk memarkir sepedanya keluar. "kemana lagi" jawabnya singkat diiringi tawa ringan. Hujan masih rintik, langit mendung. Tak ada matahari. Sepertinya awan masih ingin menyelimuti bola raksasa itu di langit Yogya. Padahal sudah pukul 06.30. Sepeda Brata melesat dari Godean ke gang Bromo. Sepi. Hujan membuat gang itu sepi seketika.

***

Selamat pagi April, semoga tetap menjadi bulan ke-4 ya! 
Hari ini Senin, musim hujan di bumi pertiwi. Langit April mendung pagi itu. Tak ada matahari di kota Yogya. Dingin. Sisa hujan semalam mebuat kota itu mati seketika. 

Mbok Yum sibuk mengelap meja makan dari sudut ke sudut, menyiapakan roti dan susu. Ibu sibuk mengolesi roti dengan selai dan ayah siap menyantapnya. Aku berlari menghampiri mereka, mengambil roti dan meneguk susu. Lantas berpamitan. Tanpa kusadari, ibu dan ayah bengong melihat kelakuanku. Apalah yang aneh dariku, aku tak peduli. Aku berlari lagi, masuk mobil. 
"Berangkat pak! Ngebut ya!"  Mang Parman mengangguk tanda mengerti. Aku sibuk merapikan seragam sambil menguyah roti lalu menelannya cepat-cepat. Mang Parman menyeringai aneh padaku melirik ke kaca di atas kepalanya. 

0 komentar:

Posting Komentar