LUKISAN CERITA KELABU
Oleh
Ilmi Solehati
Kubuka
daun jendela lebar-lebar, dari sini segala pemandangan dapat terlihat dengan
jelas. Lihat burung-burung itu, hinggap di dahan pohon malang. Ya, malang.
Karena setiap hari angin selalu menggugurkan daun-daunnya yang sudah mulai
menguning, kini yang tinggal hanya ranting-ranting rapuhnya saja, aku yakin
usianya sudah mencapai seabad. Beruntung
tak ada tangan jahil yang menebangnya dan menjadikannya suluh1 bakar. Alangkah indahnya menjadi
burung, sepagi ini sudah berpayungkan mentari. Lihat di timur sana bola kuning
raksasa itu sedang naik, perlahan. Kurasa ia datang lebih awal dari biasanya.
Dan embun menjadi kering karenanya. Lihat mawar itu, terlihat begitu segar pagi
ini. Menari-nari dalam terpaan angin yang lembut. Langit begitu bersih tak
berawan. Dan burung-burung terbang mengitarinya, semakin tinggi hingga menjadi
titik hitam dan menghilang dari pandangan. Dan aku sudah sangat tahu jam
dinding di kamarku sudah menunjuk angka tujuh kurang lima belas menit. Aku
menghirup nafas dalam-dalam, menelan oksigen untuk paru-paruku. Tiba-tiba pintu
kamar terbuka, Teh2 Amanda masuk mengganggu lamunan.
“Kau
tidak sekolah lagi?” sorot matanya tajam mengarah padaku. Aku menggeleng malas.
“Lucu
sekali, ayoh mandi!” bentaknya padaku seraya membanting pintu.
Mendengar
itu aku segera melompat ke kamar mandi. Kemudian cepat-cepat berbaju, tak bermake-up. Rambut kukuncir satu. Kuraih
kerudung yang menggantung di balik pintu. Secepat kilat aku meraih sepatu di
bawah ranjang tidur, kemudian bersepatu. Tak ada sarapan di meja makan, aku
segera menghampiri Teteh yang sudah
hampir sepuluh menit menungguku. Teteh tak
bicara, ia segera berdiri dan merapikan baju. Kupikir Teteh benar-benar marah padaku. Walau begitu, Teteh tetap mengantarku ke sekolah. Sialnya, waktu terasa cepat
bergulir. Jam menunjukan pukul tujuh. Aku belum lagi sampai di sekolah, sudah
pasti kesiangan.
“Sedari
dulu kau memang sudah manja dan lelet” tegasnya padaku.
*
Pukul
tujuh lewat dua menit, bel masuk sudah berdering dua menit yang lalu. Beruntung
gerbang belum sepenuhnya ditutup dan satpam masih memperbolehkanku masuk. Juga
kelasku tidak begitu jauh, cukup berjalan pelan dan tak perlu lari. Hari ini
Rabu. Seingatku, tak ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan, juga tak ada
ulangan. Aku berjalan santai seolah tidak terlambat, bahkan sempat kupetik dulu
bunga mawar di taman sekolah. Mencium wangi mawar akan membuatku lebih tenang.
Aku begitu suka dengan mawar. Sederet kelas perkantoran kulalui, masih
terdengar ramai jeritan anak perempuan, tandanya belum ada guru masuk, dan
kelasku ada diujung. Kuperlambat langkah setelah kudapati kelas begitu hening
seperti tak berpenghuni. Aneh, biasanya kelas selalu ramai seperti Bojong
meron3. Sejak kapan menjadi tertib
begini? Mengintip dari jendela menjadi satu-satunya cara untuk memastikan
keadaan di dalam baik-baik saja. Betapa terkejutnya aku, setelah tahu apa yang
terjadi di dalam. Bodoh. Aku telah melupakan hal yang sangat penting hari ini. Karenanya
aku menjadi ragu untuk masuk kelas. Aku mendadak panik, kuhirup lagi bunga
mawar yang kupegang. Aku mematung, tak menghasilkan sesuatu. Kini hanya ada dua
pilihan, tetap masuk atau kabur ke kantin. Gila, dua-duanya pilihan gila. Keadaan
itu telah membuatku tak dapat berfikir jernih. Tanpa kusadari, kaki melangkah
meninggalkan kelas. Membawaku ke pilihan kedua. Mawar masih ditangan, sudah
sedikit layu. Tak ada kulihat siswa
berkeliaran kecuali beberapa anak yang sedang praktek di kantin. Aku duduk di
meja selatan, meja paling ujung. Kemudian memesan makanan untuk sarapan.
Seandainya cermin yang kubawa dapat berbicara, mungkin dia akan mengatakan
betapa polosnya wajahku saat itu. Disaat orang lain sedang kebingungan ulangan
produktif, aku sendiri malah enak-enakan sarapan di kantin. Sungguh, aku benci
ini. Aku benci pilihan yang kubuat. Ah, seandainya aku tidak sekolah.
Tidak
sampai lima menit, pesananku sudah tersaji di depan mata. Sepiring nasi goreng
dengan telur mata sapi diatasnya dan air teh hangat. Aku tidak memakannya,
hanya mengaduk-aduk malas. Dan mawar itu tergeletak tak berdaya di atas meja.
Pikiranku melayang-layang tak menentu. Aku rasakan setiap butir nasi goreng
dihadapanku seperti soal-soal ulangan produktif, sangat banyak dan membuat
bingung. Dan air teh hangat itu seperti pencair suasana alias contekan.
Bayangkan, ketika harus menghadapi soal yang segudang, dan mencontek adalah
cara terbaik sepanjang sejarah. Ah, suram. Segera kubuang jauh-jauh pikiran
keruh itu setelah kudengar seseorang memanggil namaku berkali-kali. Aku bangkit
berdiri dan mencari sumber suara. Oh Yasmin, sahabatku. Ia melambaikan tangan
padaku, sangat lemah. Senyumnya pucat, tatapannya dingin. Aku dapat mengira,
penyakitnya sedang kambuh.
“Kau
sedang apa? Kebiasaan ya, makan di kantin saat ulangan.” tegurnya datar.
“Aku
belum sarapan, tidak akan konsentrasi nanti ulangannya kalau perut kosong.”
kataku mengada-ada. Yasmin mengerucutkan bibirnya, kemudian duduk disamping
kiriku.
“Kau
baik-baik saja bukan?” tanyaku kemudian.
“Lambungku
sakit, tadi tidak sempat sarapan.”
“Kau
boleh makan nasi gorengku, aku belum ingin makan.”
*
“Yang
kutahu matematika itu hanya angka nol sampai sembilan. Ada penjumlahan,
pengurangan, perkalian dan pembagian. Sederhana dan tak ada yang perlu
dipersulit. Jadi kapan kau akan berhenti membenci matematika?”
Lihat,
asap mengepul dari kepala. Bukan karena mentari yang begitu terik, dan
kaca-kaca jendela yang memantulkan panas luar biasa. Bukan juga karena
pohon-pohon yang mati terbakar mentari, dan air mancur di taman sekolah yang
tidak lagi menyegarkan. Tetapi ma-te-ma-ti-ka. Satu pelajaran yang paling
sedikit penggemarnya. Siapa yang tak kenal? Sungguh, aku sudah mengenalnya
sejak kelas satu SD. Tapi, hingga saat ini aku belum lagi jatuh cinta padanya. Entah
mengapa, aku sendiri tak tahu pasti.
Oh,
lihat papan tulis itu telah penuh dengan rumus-rumus. Dan aku tak tahu rumus
apa, sedari tadi aku tidak memperhatikan. Hanya ada satu-dua yang benar-benar
memperhatikan dan memahami, ada juga yang memperhatikan tetapi tidak paham, dan
selebihnya tidak memperhatikan dan tidak paham. Di ujung sana, Kuntum sedang
mendengarkan lagu yang diputar dalam headsetnya. Ada juga yang sibuk memainkan
ponsel dan laptopnya. Dan lihat, mereka sedang serius mengobrol, dan di
belakangnya Hana sedang asyik bermimpi.
“Sekarang
silahkan kumpulkan PR minggu lalu.” perintahnya tiba-tiba.
Dan
lihat mereka seperti tersihir, semua menghentikan kesibukannya. Hana bangun
dengan malas. Kuntum segera melepas headsetnya, kemudian memeriksa buku tugasnya dan ia tersenyum ketika mengetahui
tugasnya sudah dikerjakan. Dengan bangga ia membawa bukunya ke depan. Satu
persatu siswa mengumpulkan bukunya, sekejap meja guru sudah penuh dengan
tumpukan buku.
Hanya
aku yang tidak mengumpulkan.
Celaka.
Seingatku, aku belum menyiapkan buku pelajaran untuk hari ini. Tadi malam aku
terlalu sibuk menghitung bintang dan tadi pagi aku tak sempat. Mataku
membelalak, hatiku kembali memberontak. Aku mengacak-acak tas sekolahku. Bukan,
bukan sedang mencari buku matematika, tapi mencari mawar. Sial, tak ada mawar
kutemukan. Hei lihat, guru itu sedang mematung dihadapanku, bertolak pinggang.
Dan aku tersenyum manis, manis sekali.
“Eh
ibu, anu bu, buku saya ketinggalan.” kataku berbohong.
“Bagus
ya? Sebagai hukumannya, kerjakan soal di depan!” sentaknya tepat di depan
mukaku.
*
“Mengapa
orang-orang begitu takut dengan hujan? Padahal ia yang menyegarkan kembali
bunga-bunga, yang mencuci debu-debu jalanan, dan membuang keringat di dahimu.
Mengapa takut hujan?”
Hujan
menemani perjalanan pulangku. Menemani segala cerita pahitku hari ini, dan
segala kebodohan yang telah kulakukan. Aku berjalan dalam hujan yang semakin
deras. Tidak, bukan karena aku ingin
menyembunyikan airmata dalam hujan. Aku hanya ingin menghanyutkan segala
cerita pahitku bersama hujan.
Lihat,
kilatan cahaya seperti membelah langit. Guntur dan kilat bergantian menghiasi
hati yang gulita. Dan spanduk-spanduk usang masih saja terpasang disana-sini.
Warnanya telah pudar dimakan usia. Benar-benar merusak pemandangan. Ah,
tiba-tiba aku menjadi pemarah. Marah pada diriku sendiri. Yang tidak bisa
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk. Yang tidak menghargai waktu. Yang
selalu malas sekolah. Yang tidak pandai bersyukur. Kurasa, apa yang dikatakan
Yasmin selepas istirahat tadi benar, aku
harus berubah…
1Kayu bakar
2Sebutan untuk kakak perempuan dalam bahasa Sunda
3Pasar Tradisional di kota Cianjur
0 komentar:
Posting Komentar