Selasa, 29 April 2014

Lukisan Cerita Kelabu

LUKISAN CERITA KELABU
Oleh Ilmi Solehati

Kubuka daun jendela lebar-lebar, dari sini segala pemandangan dapat terlihat dengan jelas. Lihat burung-burung itu, hinggap di dahan pohon malang. Ya, malang. Karena setiap hari angin selalu menggugurkan daun-daunnya yang sudah mulai menguning, kini yang tinggal hanya ranting-ranting rapuhnya saja, aku yakin usianya sudah mencapai seabad.  Beruntung tak ada tangan jahil yang menebangnya dan menjadikannya suluh1 bakar. Alangkah indahnya menjadi burung, sepagi ini sudah berpayungkan mentari. Lihat di timur sana bola kuning raksasa itu sedang naik, perlahan. Kurasa ia datang lebih awal dari biasanya. Dan embun menjadi kering karenanya. Lihat mawar itu, terlihat begitu segar pagi ini. Menari-nari dalam terpaan angin yang lembut. Langit begitu bersih tak berawan. Dan burung-burung terbang mengitarinya, semakin tinggi hingga menjadi titik hitam dan menghilang dari pandangan. Dan aku sudah sangat tahu jam dinding di kamarku sudah menunjuk angka tujuh kurang lima belas menit. Aku menghirup nafas dalam-dalam, menelan oksigen untuk paru-paruku. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Teh2 Amanda masuk mengganggu lamunan.
“Kau tidak sekolah lagi?” sorot matanya tajam mengarah padaku. Aku menggeleng malas.
“Lucu sekali, ayoh mandi!” bentaknya padaku seraya membanting pintu.
Mendengar itu aku segera melompat ke kamar mandi. Kemudian cepat-cepat berbaju, tak bermake-up. Rambut kukuncir satu. Kuraih kerudung yang menggantung di balik pintu. Secepat kilat aku meraih sepatu di bawah ranjang tidur, kemudian bersepatu. Tak ada sarapan di meja makan, aku segera menghampiri Teteh yang sudah hampir sepuluh menit menungguku. Teteh tak bicara, ia segera berdiri dan merapikan baju. Kupikir Teteh benar-benar marah padaku. Walau begitu, Teteh tetap mengantarku ke sekolah. Sialnya, waktu terasa cepat bergulir. Jam menunjukan pukul tujuh. Aku belum lagi sampai di sekolah, sudah pasti kesiangan.
“Sedari dulu kau memang sudah manja dan lelet” tegasnya padaku.
*
Pukul tujuh lewat dua menit, bel masuk sudah berdering dua menit yang lalu. Beruntung gerbang belum sepenuhnya ditutup dan satpam masih memperbolehkanku masuk. Juga kelasku tidak begitu jauh, cukup berjalan pelan dan tak perlu lari. Hari ini Rabu. Seingatku, tak ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan, juga tak ada ulangan. Aku berjalan santai seolah tidak terlambat, bahkan sempat kupetik dulu bunga mawar di taman sekolah. Mencium wangi mawar akan membuatku lebih tenang. Aku begitu suka dengan mawar. Sederet kelas perkantoran kulalui, masih terdengar ramai jeritan anak perempuan, tandanya belum ada guru masuk, dan kelasku ada diujung. Kuperlambat langkah setelah kudapati kelas begitu hening seperti tak berpenghuni. Aneh, biasanya kelas selalu ramai seperti Bojong meron3. Sejak kapan menjadi tertib begini? Mengintip dari jendela menjadi satu-satunya cara untuk memastikan keadaan di dalam baik-baik saja. Betapa terkejutnya aku, setelah tahu apa yang terjadi di dalam. Bodoh. Aku telah melupakan hal yang sangat penting hari ini. Karenanya aku menjadi ragu untuk masuk kelas. Aku mendadak panik, kuhirup lagi bunga mawar yang kupegang. Aku mematung, tak menghasilkan sesuatu. Kini hanya ada dua pilihan, tetap masuk atau kabur ke kantin. Gila, dua-duanya pilihan gila. Keadaan itu telah membuatku tak dapat berfikir jernih. Tanpa kusadari, kaki melangkah meninggalkan kelas. Membawaku ke pilihan kedua. Mawar masih ditangan, sudah sedikit layu. Tak ada kulihat  siswa berkeliaran kecuali beberapa anak yang sedang praktek di kantin. Aku duduk di meja selatan, meja paling ujung. Kemudian memesan makanan untuk sarapan. Seandainya cermin yang kubawa dapat berbicara, mungkin dia akan mengatakan betapa polosnya wajahku saat itu. Disaat orang lain sedang kebingungan ulangan produktif, aku sendiri malah enak-enakan sarapan di kantin. Sungguh, aku benci ini. Aku benci pilihan yang kubuat. Ah, seandainya aku tidak sekolah.
Tidak sampai lima menit, pesananku sudah tersaji di depan mata. Sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi diatasnya dan air teh hangat. Aku tidak memakannya, hanya mengaduk-aduk malas. Dan mawar itu tergeletak tak berdaya di atas meja. Pikiranku melayang-layang tak menentu. Aku rasakan setiap butir nasi goreng dihadapanku seperti soal-soal ulangan produktif, sangat banyak dan membuat bingung. Dan air teh hangat itu seperti pencair suasana alias contekan. Bayangkan, ketika harus menghadapi soal yang segudang, dan mencontek adalah cara terbaik sepanjang sejarah. Ah, suram. Segera kubuang jauh-jauh pikiran keruh itu setelah kudengar seseorang memanggil namaku berkali-kali. Aku bangkit berdiri dan mencari sumber suara. Oh Yasmin, sahabatku. Ia melambaikan tangan padaku, sangat lemah. Senyumnya pucat, tatapannya dingin. Aku dapat mengira, penyakitnya sedang kambuh.
“Kau sedang apa? Kebiasaan ya, makan di kantin saat ulangan.” tegurnya datar.
“Aku belum sarapan, tidak akan konsentrasi nanti ulangannya kalau perut kosong.” kataku mengada-ada. Yasmin mengerucutkan bibirnya, kemudian duduk disamping kiriku.
“Kau baik-baik saja bukan?” tanyaku kemudian.
“Lambungku sakit, tadi tidak sempat sarapan.”
“Kau boleh makan nasi gorengku, aku belum ingin makan.”
*
“Yang kutahu matematika itu hanya angka nol sampai sembilan. Ada penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Sederhana dan tak ada yang perlu dipersulit. Jadi kapan kau akan berhenti membenci matematika?”
Lihat, asap mengepul dari kepala. Bukan karena mentari yang begitu terik, dan kaca-kaca jendela yang memantulkan panas luar biasa. Bukan juga karena pohon-pohon yang mati terbakar mentari, dan air mancur di taman sekolah yang tidak lagi menyegarkan. Tetapi ma-te-ma-ti-ka. Satu pelajaran yang paling sedikit penggemarnya. Siapa yang tak kenal? Sungguh, aku sudah mengenalnya sejak kelas satu SD. Tapi, hingga saat ini aku belum lagi jatuh cinta padanya. Entah mengapa, aku sendiri tak tahu pasti.
Oh, lihat papan tulis itu telah penuh dengan rumus-rumus. Dan aku tak tahu rumus apa, sedari tadi aku tidak memperhatikan. Hanya ada satu-dua yang benar-benar memperhatikan dan memahami, ada juga yang memperhatikan tetapi tidak paham, dan selebihnya tidak memperhatikan dan tidak paham. Di ujung sana, Kuntum sedang mendengarkan lagu yang diputar dalam headsetnya. Ada juga yang sibuk memainkan ponsel dan laptopnya. Dan lihat, mereka sedang serius mengobrol, dan di belakangnya Hana sedang asyik bermimpi.
“Sekarang silahkan kumpulkan PR minggu lalu.” perintahnya tiba-tiba.
Dan lihat mereka seperti tersihir, semua menghentikan kesibukannya. Hana bangun dengan malas. Kuntum segera melepas headsetnya, kemudian memeriksa buku  tugasnya dan ia tersenyum ketika mengetahui tugasnya sudah dikerjakan. Dengan bangga ia membawa bukunya ke depan. Satu persatu siswa mengumpulkan bukunya, sekejap meja guru sudah penuh dengan tumpukan buku. Hanya aku yang tidak mengumpulkan.
Celaka. Seingatku, aku belum menyiapkan buku pelajaran untuk hari ini. Tadi malam aku terlalu sibuk menghitung bintang dan tadi pagi aku tak sempat. Mataku membelalak, hatiku kembali memberontak. Aku mengacak-acak tas sekolahku. Bukan, bukan sedang mencari buku matematika, tapi mencari mawar. Sial, tak ada mawar kutemukan. Hei lihat, guru itu sedang mematung dihadapanku, bertolak pinggang. Dan aku tersenyum manis, manis sekali.
“Eh ibu, anu bu, buku saya ketinggalan.” kataku berbohong.
“Bagus ya? Sebagai hukumannya, kerjakan soal di depan!” sentaknya tepat di depan mukaku.
*
“Mengapa orang-orang begitu takut dengan hujan? Padahal ia yang menyegarkan kembali bunga-bunga, yang mencuci debu-debu jalanan, dan membuang keringat di dahimu. Mengapa takut hujan?”
Hujan menemani perjalanan pulangku. Menemani segala cerita pahitku hari ini, dan segala kebodohan yang telah kulakukan. Aku berjalan dalam hujan yang semakin deras. Tidak, bukan karena aku ingin  menyembunyikan airmata dalam hujan. Aku hanya ingin menghanyutkan segala cerita pahitku bersama hujan.
Lihat, kilatan cahaya seperti membelah langit. Guntur dan kilat bergantian menghiasi hati yang gulita. Dan spanduk-spanduk usang masih saja terpasang disana-sini. Warnanya telah pudar dimakan usia. Benar-benar merusak pemandangan. Ah, tiba-tiba aku menjadi pemarah. Marah pada diriku sendiri. Yang tidak bisa meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk. Yang tidak menghargai waktu. Yang selalu malas sekolah. Yang tidak pandai bersyukur. Kurasa, apa yang dikatakan Yasmin selepas istirahat tadi benar, aku harus berubah…

1Kayu bakar
2Sebutan untuk kakak perempuan dalam bahasa Sunda

3Pasar Tradisional di kota Cianjur

0 komentar:

Posting Komentar